Pria berperawakan mungil ini sudah lebih dari 40 tahun bermukim di Bali, awalnya jadi pencari bibit udang di Gilimanuk, kemudian menjadi tukang gali kabel di Tabanan, dan sejak 30 tahun tinggal di sekitar Badung, Sanur, Nusa Dua dan Kuta.
“Ketika aluminium mencapari Rp 25.000 sekilo, saya bisa mendapatkan Rp 300.000 dalam semalamnya, karena kaleng minuman yang saya temukan tiap malamnya bisa satu kwintal,” tutur Mbah Lan. Dia akrab dipanggil Mbah Lan karena kebiasaannya kemana mana selalu berjalan.
Cucunya sudah 10, anaknya ada 5 orang dan ada cucunya yang sudah punya anak, artinya Mbah Lan sudah punya buyut atau cicit.
Namun dia tak menyerah dengan usia rentanya, sejak subuh hari sampai menjelang tengah hari dia tetap berkeliling di seantero Kuta. Bila ada orang yang menyuruhnya menggali got, atau sekedar membersihkan rumput dia akan dengan senang hati membantu asal diberikan sampah baik berupa majalah, kardus atau kaleng minuman.
“Biasanya bule yang tinggal di kontrakan menyuruh membersihkan kebun atau halaman belakang, ongkosnya ya kaleng atau botol, kadang diberi dollar,” tutur Mbah Lan. Mbah Lan tidak pernah merasa terhina dengan pekerjaannya sebagai penguras got, pemungut sampah atau penggali wc. Karena menurutnya semua pekerjaan sepahit apapun bila sudah mendapatkan ongkosnya berupa uang dia akan berubah menjadi manis. Dan dari pekerjaannya sebagai pemungut sampah di Kuta selama ini dia bisa membahagiakan keluarga dan seluruh anak dan cucunya. Semua mereka bisa berkembang menurut keinginannya berkat hasil kerja keras Mbah Lan berakrab ria dengan sampah.
Anaknya ada yang bekerja di pabrik mesin di Batam. Cucunya ada yang jadi pemborong di Kalimantan. Semua sukses berkat kerja keras Mbah Lan selama bertahun tahun menjadi pemungut sampah di Kuta. Sebuah kawasan wisata paling kondang, ikon pariwisata dunia yang terkenal sangat elite dan biaya hidup sangat tinggi.
Di Kuta Mbah Lan dia tidak membayar kontrakan khusus selama ini, dia cukup merawat kebon pisang, membersihkan rumput liar yang banyak tumbuh sekitar kediamannya. Si pemilik tanah kemungkinan tak tega memungut biaya untuk ongkos tinggal Mbah Lan.
“Mulai dari ayah, kakek dan mertua pemilik tanah sudah akrab dengan saya jadi saya tak dipungut bayaran sepeserpun,” tuturnya. Dengan cara seperti itulah dia mencoba hidup deengan sangat bersahaja. Sementara orang lain mesti membayar semua hal termasuk untuk sekedar buang air, Mbah Lan melakukan semuanya tanpa bayar.
Malahan untuk mengerjakan hal paling sederhana misalnya membersihkan got dia dibayar mahal. Sedangkan dari memunguti sampah sedari subuh sampai siang hari bolong dia memperoleh tak kurang dari Rp 3 juta dalam sebulan. Perinciannya adalah Rp 1 juta dari kaleng aluminium, Rp 500.000 dari kardus, Rp 1,5 juta dari besi bekas dan gelas plastik. Dan dia tak perlu memotong penghasilannya itu untuk kontrak rumah, atau makan 3 kali sehari.
Karena ada saja warung yang berbaik hati memberinya sepiring nasi dengan syarat dia membersihkan piring atau mengemasi aneka macam kotoran di warung langganannya.
Sumber : Wayan Budiartha
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.