14 December, 2011

Punya Hutang Segunung ???

Rahasia Menyelesaikan Hutang Segunung ( Ust. Yusuf Mansur )

Allahu Akbar, Allah itu Maha Besar. Dia jelas lebih besar daripada “hutang kita”. Kenapa kita tidak melirik kepada Kebesaran-Nya ini?

Dewasa ini hutang merupakan penyakit sosial, dan penyakit massal. Dikatakan demikian, sebab nyatanya hampir lebih dari separuh penduduk, punya hutang! Hutang riil, bukan hutang negara. Di antara para penghutang, ada yang hutangnya seolah tak terbayarkan karena setinggi gunung. Ada juga yang tak terbayarkan karena tidak tahu dengan apa hutang bisa dibayar. Tapi ada juga para penghutang yang berkategori aman. Alias penghasilannya masih cukup buat bayar hutang.

Sepuluh Hal
Yang Bisa Meringankan Beban

beban memang berat bila dibawa sendirian.
maka berbagilah dengan Allah.

Tulisan kali ini, khusus untuk Anda yang hutangnya besar, atau sangat besar. Apalagi kalau kemudian hutang-hutang Anda ini membuat leher Anda begitu tersekat. Karena ini pernah terjadi pada Luqman; tokoh utama dalam Wisata Hati yang kehidupannya dijadikan media pembelajaran dan tadzkirah. Dan Luqman bisa sedikit meringankan bebannya dengan menerapkan strategi berikut ini. Sekedar catatan, bagi Anda yang tidak memiliki hutang, tapi memiliki permasalahan lain,
cara-cara yang akan dipaparkan ini bisa juga Anda pakai. Sesuaikan saja dengan keadaan permasalahan yang sedang terjadi. Kepada Allah jua kita hdapkan permasalahan hidup dan kehidupan kita.

1. Pahami pesan permasalahan dan mohonkan ampun atas kesalahan dan keburukan.
Sikapi dulu, pahami dulu, kenapa sampai hutang muncul dan membesar. Bila ini ada kebiasaan dari sifat yang kepengen senang tanpa perjuangan (instan), minta ampun dulu. Hal ini sama saja dengan cara menghadapi permasalahan yang lain selain hutang. Yaitu dengan memohon ampun setelah melakukan pemuhasabahan [pengkoreksian diri]. (Silahkan Pembaca membaca buku “Wisata Hati Ujian atau Azab; Ketika Permasalahan Terhidang”, untuk melengkapi pemuhasabahan).
Pahamilah, bahwa kesempitan hidup bisa muncul, sebabnya adalah kita jauh dari kita punya Tuhan, jauh dari Allah; Mungkin shalat kita belang belentong, kita tiada hormat sama orang tua, kita tiada sayang sama keluarga, kita tiada menghormati hak tetangga, kita mudah menzalimi orang, kita boros, kita bekawan sama teman-teman yang jauh dari Allah, dan hal-hal negatif lainnya yang menandakan kita sudah jauh dari Allah;
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit…” (Thâha: 124).
Salah satu bentuk kesempitan hidup adalah adanya hutang yang tidak terbayar atau piutang yang tidak kunjung tertagih. Bentuk kesempitan yang lain adalah apapun
bentuknya yang dirasakan sebagai kesusahan oleh manusia pada umumnya; seperti penyakit yang menahun, kemiskinan yang penuh dengan duka dan derita, kebangkrutan yang menghempaskan kita dari kehidupan normal, hilangnya pekerjaan, rumah tangga yang tidak sakinah, dan sebagainya.
Maka untuk mengubah keadaan menjadi baik, atau menjadi lebih baik dari sebelumnya, perlu kiranya kita melayangkan permintaan maaf dulu kepada Allah „azza wa jalla;
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Allah akan menutup kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (at Tahrîm: 8).
Andai hutang adalah akibat kesalahan, maka dengan diawali permohonan ampun kepada Allah, insya Allah, berdasarkan ayat tersebut, kesalahan tersebut akan ditutup oleh Allah. Dan surga yang disebut di ayat tersebut bisa kita terjemahkan ke pengertian suasana yang penuh dengan kenikmatan. Bukankah kenikmatan adanya bila ketenangan kembali menghiasi hidup? Bukankah kenikmatan adanya bila hutang bisa terbayar? Bukankah kenikmatan adanya bila hidup kembali normal, dengan keluarga bisa ngumpul, tidak lari-larian terus? Surga adalah kenikmatan. Dan kita kejarlah surga dunia dengan memohon ampun kepada Allah.

Untuk tahap awal, dan sekaligus sebagai riyadhah (latihan), biasakanlah dulu mengucap kalimat istighfar (astaghfirullâh);
“Barangsiapa yang membiasakan diri beristighfar, Allah akan mencarikan jalan keluar bagi kesulitannya, menjadikan kelapangan bagi kesempitannya, dan memberikannya rizki dari hal-hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya.” (al Hadits).

2. Pupuk kembali keimanan dan perbanyak amal kebaikan.
Setelah memohon ampun, lanjutkan terus dengan kembali beriman dan beramal saleh (untuk menebus kesalahan). Saudara, permohonan ampun sangat terkait dengan perbaikan hidup, perubahan kualitas hidup. Tapi sekedar memohon ampun, jelas tidak cukup. Ini didasarkan pada surah al Furqân: 70;
“(Akan ditambahkan kesusahannya kelak di hari kiamat, dan akan dihinakan) kecuali orang-orang bertaubat (yang menghentikan langkah buruknya), beriman, dan beramal saleh. Mereka inilah orang-orang yang keburukannya digantikan Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keburukan bagi yang berhutang, kan, tidak bisa bayar hutangnya. Maka, awali dulu dengan permohonan ampun. Tapi sebelum diubah keadaannya, pupuk iman supaya bisa melakukan amal saleh yang bisa mengimbangi keinginan dan masalah kita.
Sekarang coba kita perhatikan redaksi ini “kecuali mereka yang bertaubat, beriman dan beramal saleh…”. Kenapa di
antara kewajiban amal saleh dan taubat, ada kalimat beriman? Karena perlu iman untuk melakukan amal saleh. Selain tanpa iman, amal saleh tidak dianggap, ia pun menjadi dorongan agar kita kudu percaya; dengan kita melakukan amal saleh, maka keburukan kita akan diubah menjadi kebaikan. Semakin besar kepercayaan kita sama Allah, maka akan semakin besar juga amal kita. Kira-kira begitu, insya Allah.
Dan kenapa juga iman dan amal saleh harus didahului taubat? Karena tanpa bertaubat dulu, iman dan amal saleh tidak akan bisa “bunyi”, tidak akan punya pengaruh bagi perbaikan hidup. Minta ampun dulu, pupuk keimanan, dan berjuanglah memupuk amal saleh. Lagipun kata Allah dan Rasul-Nya, kebaikan akan menghapus keburukan.

3. Kembangkan pikiran positif dan jangan biarkan pikiran negatif bermain.
Jangan biarkan pikiran negatif bermain. Paling tidak hibur diri dengan pikiran-pikiran positif. Ini perlu latihan. Setidaknya coba lihat apa yang masih tersisa di hidup dan kehidupan kita. Kita punya hutang, tapi masih bisa berlari, karena punya kaki. Bagaimana mereka yang tidak punya kaki. Terus lagi misalnya, kita punya hutang besar, dan agak-agak mustahil ga kebayar, tapi kita masih dikasih mata, lumayan. Intinya mengembangkan kepositifan berpikir. (Lihat juga judul-judul yang sifatnya memotivasi seperti judul “Urusan Allah”, atau Pembaca bisa membaca buku Wisata Hati yang berjudul “Membangun Harapan dan Optimisme”).
Jujur saja, memang kita seringkali dipenjara oleh pemikiran negatif kita sendiri. Kita menganggap
kesusahan yang terjadi sudah seperti neraka, dan seakan kita sudah mengalami apa yang dinamakan kiamat.

Berikut ini beberapa contoh pemikiran negatif:
 Dalam posisi berhutang, kita ketakutan ditagih. Padahal kalau dihadapi baik-baik pun orang juga akan baik juga. Dan biasanya akan ada jalan keluarnya.
 Kita memenjarakan diri kita dengan pemikiran negatif bahwa hutang kita tidak akan mungkin pernah bisa terbayar. Siapa bilang? Kan ada Allah dengan Segala Keajaiban-Nya? Jangan menyerah dulu dengan keadaan. Ingat, kondisi negatif pertama kali dibentuk oleh pikiran-pikiran negatif.
 Kita menganggap hidup kita berantakan. Ini juga sering bermain di dalam pikiran kita. Kita menganggap hidup kita sudah “finish”, sudah berakhir. Akhirnya kita mati langkah sendiri, hanya mengurung diri di kamar, tanpa mampu berbuat sesuatu yang bermanfaat. Bila sudah begini, yang sering terjadi adalah kita seperti sedang menghitung hari kematian. Deg-degan terus, sementara kita hanya berdiam diri saja.
Oleh karenanya, penting sekali mengembangkan pikiran-pikiran positif.
Tapi memang, orang-orang salah mah, sudah ketetapan Allah mereka ketakutan dengan kesalahan-kesalahannya apabila ditampakkan Allah;
“Kamu lihat orang-orang yang zalim ketakutan dengan keburukan-keburukan yang telah mereka lakukan.
Sedang akibat buruk perbuatan buruk biar bagaimanapun juga tetap akan menimpa mereka…” (asy Syûrâ: 22).
Tapi insya Allah, dengan iradah Allah, semua hal yang buruk-buruk segera digantikan dengan yang baik-baik. Dan ini sekali lagi bisa kita dapatkan dengan memohon petunjuk Allah, ampunan serta rahmat-Nya.
Semoga tulisan ini benar-benar membawa manfaat, bukan hanya buat saudara, tapi juga buat saya dan keluarga.

4. Pikirkan kemampuan Allah, kuasa Allah. Jangan membatasi diri dengan kemampuan diri.
Pikirkan kemampuan Allah, bukan ketidakmampuan diri sendiri. Ini penting, sebab kita sering jadinya putus asa, manakala kita sadar bahwa tidak ada satupun yang kita bisa lakukan untuk menutup hutang. Kalau Kuasa Allah kan tidak berbatas dan tidak bertepi. Beda dengan kuasa kita, langkah kita, yang ada mentoknya. Yang harus kita lakukan sementara kita tidak punya kemampuan, adalah kita secepatnya kembali kepada Allah, dan meminta Kuasa-Nya hadir di dalam kehidupan kita. Urusan hutang terlalu kecil bagi-Nya. Kalau Dia sudah berkenan, bukan saja hutang kita akan lunas, tapi juga kehidupan kita akan kembali dibangkitkan oleh Allah, usaha kita kembali dijayakan, rumah tangga kembali diharmoniskan, pekerjaan kembali diberikan, ketenangan kembali dihadirkan. Dan mampukah Allah? Pasti mampu. Dia pasti mampu. Dan ini pasti, tidak perlu diragukan lagi.

5. Yakinkan diri bahwa Allah Maha Menolong.
Pikirkan Allah itu Maha Menolong. Tinggal sekarang kita berupaya agar pertolongan Allah hadir dalam kehidupan
kita, dalam permasalahan kita. Saudara, yang harus kita kuatirkan dalam setiap usaha kita dalam membayar hutang dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan lain adalah jangan-jangan pertolongan Allah tidak ada. Sebab tidak mungkin yang namanya “susah” tidak mau pergi kalau Allah sudah berkenan menolong. Minimal, ketika permasalahan masih ada, kalau Allah sudah berkenan menolong, Dia akan menghadirkan ketenangan dan kedamaian di hati. Hidup kita tidak tegang, tidak panik.

6. Percaya bahwa Allah bakal menolong.
Usahakan menanamkan keyakinan bahwa Allah itu bakal menolong kita. Dengan begini, kita akan merasa aman. Sebab sudah ada sandaran. Kita pikirkan, kalau hutang kita ada yang menjamin, bukankah kita bakal tenang? Pikirkan, bila terhadap penyakit kita, ada yang bilang, ah, penyakit ini sih penyakit biasa, insya Allah bisa sembuh; maka hati kita langsung senang, langsung tenang? Demikianlah, kalau kita menyandarkan diri kita kepada Allah, dan meyakini bahwa Dia Yang Maha Menolong mau menolong kita, sungguh, ketenangan dan kedamaian akan hadir. Insya Allah.
Dan yang tidak kalah pentingnya, jaga sikap, jaga hati, jaga pikiran. Ini kalau kita semua mau ditolong oleh Allah. Maksudnya, jadikan diri kita pantas ditolong oleh Allah;
“Barangsiapa yang bertakwa (memelihara diri) kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal (menyerahkan diri dan persoalan hidup) kepada Allah, niscaya Dia akan mengurusnya…” (ath Thalâq: 2-3).

7. Percaya bahwa Allah hanya menghadirkan hal-hal yang mudah dan hanya akan mempermudah.
Pikirkan bahwa Allah itu hanya menghadirkan hal-hal yang mudah saja. Tidak pernah menghadirkan hal yang sulit. Yang sulit mah kita. Kita bahkan menambah sulit diri kita dengan memelihara kekhawatiran dan ketakutan. Jadi, upayakan agar Kehendak Allah muncul dalam kasus hutang piutang kita. Mengupayakan kehendak Allah itu adalah dengan mengetahui dengan cara apa dan berusaha mendekati Allah sehingga Dia berkenan kepada kita;
“… Allah hanya menghadirkan kemudahan bagi kamu, tidak menghendaki kesukaran bagi kamu…” (al Baqarah: 185)

8. Jangan mengambil langkah yang salah dan hanya menambah permasalahan.
Panik hanya kepada Allah. Jangan panik lalu mengambil langkah-langkah yang menambah runyam keadaan. Mengatasi hutang dengan hutang baru tanpa ada pijakan bayarnya adalah salah satu contoh kepanikan, menurut pengalaman saya. Jangan coba-coba menutup masalah dengan menghadirkan permasalahan yang lebih besar.
Berpaling kepada selain Allah (meminta bantuan paranormal, dukun-dukun, kyai-kyai kurafat, kyai-kyai musyrik) akan menyebabkan Anda akan semakin jauh dari Allah. Langsung saja menghadap Allah, dengan jalan shalat dan sabar. Meski demikian, tidak salah minta doa dari orang yang Anda anggap alim, tidak salah minta nasihat dari pemuka-pemuka agama yang masih menjaga kehormatan dan kemuliaan agama Allah.

9. Perbaiki ibadah dan tingkatkan usaha.
Tingkatkan usaha, perbaiki ibadah dan doa. Untuk Anda yang muslim, terutama rajinin bangun malam untuk shalat tahajjud, dan pada pagi harinya shalat sunnah Dhuha, mengiringi shalat fardhu. Supaya pintu keberkahan dari langit bertambah terbuka. Kalau mengambil nasihat dari Aa Gym, luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar. Percayalah, bila Anda berhutang, dan Anda memang berniat untuk membayar, maka Allah akan hadirkan kemudahan-kemudahan bagi Anda. Dan hal ini juga menjadi ibadah tersendiri. Insya Allah.

10. Pasrahkan kepada Allah.
Memasrahkan diri kepada Sang Maha. Kalaupun akhirnya ada masa sulit yang memang harus mampir dalam kehidupan kita, terima saja. Yang penting kita tahu bahwa Dia sedang melihat kita dan tetap akan memperhatikan kita. Kita pasrahkan kejadian masa depan hanya kepada-Nya. Dan kadang-kadang kejadian tidak seburuk bayangannya koq. Udah waktunya berlalu mah, ia akan berlalu. Pagi saja berganti malam, tidak pernah pagi terus atau malamterus.
Sekali lagi, yakinkan diri akan Kuasa Allah. Insya Allah, ada saja jalan bagi kita, termasuk jalan keluar untuk hutang-hutang kita.

Membayar Hutang
Lewat Jalan Sedekah

Kebesaran Allah selalu lebih besar daripada semua permasalahan yang kita hadapi. Lalu kemudian yang kita
perlukan adalah menghadirkan kebesaran Allah dalam proses penyelesaian masalah yang kita hadapi.
Sebenarnya ada satu lagi cara yang sangat-sangat efektif untuk bebas dari segala kesulitan, termasuk urusan hutang yang tidak terbayarkan. Caranya banyakin nolong orang, banyakin sedekah.
Ketika kita menemukan kesulitan muncul dalam kehidupan kita, apapun namanya, apapun bentuknya, bersegera saja mencari orang-orang yang lebih sulit dari diri kita. Bersegera saja mencari orang-orang yang lebih susah, lebih menderita daripada beban yang kita pikul. Mana perlu, korbankan banyak (jangan sedikit) apa yang kita punya. Kalaupun kita engga punya uang, tapi kita masih punya aset barang, jual saja barangnya, lalu sedekahkan. Keajaiban dari menolong orang, keajaiban dari bersedekah akan membebaskan kita dari kesulitan seperti apapun kesulitan tersebut adanya. Buktikan saja.
Lalu ada yang bertanya, ukuran sedekahnya bagaimana? Ukurannya adalah sebesar-besarnya kemampuan kita, dan sedekahlah yang terbaik. Besar kecilnya relatif. Tapi harus imbanglah dengan masalahnya. Kita punya masalah, sementara kita masih memiliki aset ratusan juta rupiah, lalu kita mengorbankan “hanya” beberapa ratus ribu rupiah, tentu akan terlihat ketidakimbangan. Lakukanlah pengorbanan yang terbaik, supaya Allah melihat, “hemmm, si Fulan mau mengorbankan harta dan jiwanya untuk-Ku, maka Aku akan bantu dia menyelesaikan persoalannya.”
“Tidak akan mencapai kebaikan yang sempurna, sampai kamu mau mengorbankan apa yang kamu cintai…” (Âli Imrân: 92).
Kebaikan buat para penghutang adalah terbayar hutangnya. Kebaikan buat orang yang sakit adalah sembuh dari sakitnya. Kebaikan untuk orang-orang yang sedang gelisah adalah ketenangan, dan seterusnya. Nah, mereka ini, digaransi Allah tidak akan mencapai kebaikannya itu dengan sempurna, dengan mudah dan gampang, kecuali mereka mau mengorbankan apa yang mereka cintai.
Untuk membantu menemukan bagaimana sih pengorbanan yang kira-kira dikehendaki Allah? Berikut ini ilustrasi kejadian. Please, jangan berpatokan dari hitam putih ilustrasi ini. Kembangkan sendiri, dan selaraskan dengan iman kepada Allah, yang berkaitan dengan keinginan dan permasalahan kita;

 Saudara misalkan punya hutang. Katakanlah seratus juta rupiah. Sementara saudara saat ini tidak memiliki uang yang berarti untuk membayar hutang saudara. Tapi saudara memiliki tanah seluas 100 meter persegi. Dan tanah itu satu-satunya, yang sedianya akan saudara bangunkan rumah (sebab masih ngontrak). Lalu datang penawaran Allah, bahwa kebaikan bagi saudara adalah ketika saudara bisa mengorbankan apa yang saudara cintai. Kemudian saudara berani mewakafkan tanah tersebut untuk sekolah di sekitar saudara, atau saudara jual dan uangnya saudara sebar untuk rizki yatim piatu di kampung Anda. Maka insya Allah ini dianggap sebagai sebuah pengorbanan.

 Saudara memiliki uang hanya satu juta-satu jutanya. Sementara saudara dihadapkan pada permasalahan hutang yang cukup besar. Lalu Allah menjanjikan akan menolong mereka yang mau menolong saudaranya. Dan karena tertarik dengan janji ini, saudara lalu menginfakkan delapan ratus ribu rupiah (jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan uang yang hanya satu juta rupiah), untuk menyentuh kesusahan orang lain, membelai yatim, membayarkan beberapa spp anak, membelikan obat-obatan ringan bagi keluarga miskin; maka bila ini Saudara lakukan, insya Allah inilah pengorbanan terbaik dari saudara yang bisa segera mengundang pertolongan Allah.

 Anda akan dioperasi jantung. Saat itu misalnya, tidak ada pilihan lain kecuali saudara menjual rumah satu-satunya milik saudara untuk biaya operasi. Dan Anda rela untuk tinggal di rumah kontrakan dengan alasan kesehatan jauh lebih mahal. Tapi ketika saudara tahu tentang keutamaan sedekah, di mana salah satunya adalah menghilangkan penyakit, Anda memilih tetap menjual tanah tersebut. Tapi bukan untuk biaya operasi, melainkan untuk disedekahkan. Anda lalu pulang, menandatangani surat pernyataan pelepasan tanggung jawab dari rumah sakit. Kemudian Anda lalu memilih tidak operasi, tapi rawat jalan saja, sambil mencari pengobatan alternatif. Jalan ini ditempuh oleh saudara, dengan keyakinan bahwa Anda perlu sesuatu untuk dikorbankan, untuk disedekahkan. Subhanallah saudara, iman saudara akan membuat Allah menyembuhkan penyakit saudara, tanpa operasi. Akan ada saja jalan dari Allah untuk menyembuhkan
penyakit saudara tanpa melalui pintu operasi. Misalnya, suatu hari Anda kedatangan tamu, lalu tamu ini menyarankan Anda meminum ramuan tertentu. Eh, dengan ramuan ini saudara bisa sembuh. Dan sebenarnya, rahasia kesembuhan saudara adalah karena adanya ridha Allah. Allah senang saudara sudah berani mengorbankan tanah satu-satunya yang saudara sedianya jadikan biaya operasi; jadi dengan “hanya” meminum ramuan, saudara dibuat-Nya sembuh.

 Seseorang yang ingin berhaji. Lalu dia memiliki tabungan dua juta rupiah. Lantas dia berpikir, akan lama kalau ia menabung. Bagaimana kalau ia sedekahkan saja? Urusan Allah yang akan melipatgandakan sedekahnya menjadi rizki baginya. Lalu ia sedekahkan. Saudara, bila ini ia lakukan, Allah Yang Maha Syakuur, Yang Maha Balas Jasa, akan membuktikan janji-Nya. Di kemudian hari ia insya Allah akan berangkat haji dengan rizki yang tidak ia duga-duga sebelumnya.
Dan masih banyak lagi. Sekarang saudara hitung masalah saudara, lalu saudara lihat-lihat di rumah dan di sekeliling saudara; adakah sesuatu yang bisa saudara infakkan di jalan Allah, seraya memohon pertolongan-Nya dalam masalah saudara. Semakin besar sedekah saudara maka pertolongan Allah pun akan semakin besar.
sedekah
akan memperbanyak rizki

Firman Allah dan Hadits Rasulullah Yang Berkenaan Dengan Penyelesaian Hutang Segunung.

Baiklah, untuk lebih masuk ke hati, kita bahas 2 dari hadits Rasulullah, dan satu firman Allah berikut ini yang berkenaan dengan cara menyelesaikan hutang segunung;

1. Wallâhu fî ‘anil ‘abdi mâ kânal ‘abdu fî ‘awni akhîhiAllah selalu berkenan membantu hamba-Nya, selama hamba-Nya berkenan membantu saudara-Nya. (al Hadits).
Inilah rahasia Allah yang tidak ada seorangpun tahu. Kenapa juga mereka yang sulit justru harus mencari mereka yang lebih sulit? Kenapa mereka yang susah justru harus mencari mereka yang lebih susah? Dan kenapa mereka yang menderita harus mencari mereka yang lebih menderita? Malah bukan sekedar mencari, tetapi membantu melepaskan kesulitannya, menolong kesusahannya, dan meringankan penderitaannya.
Dalam konteks penyelesaian hutang, maka kita harus cari orang-orang yang berhutang untuk kita bantu bebaskan hutangnya; misalnya bebaskan hutang tetangga kita di warung, bebaskan hutangnya yatim di sekolah (yang terkait dengan spp sekolahnya), kita bebaskan mereka yang berhutang ke kita (lantaran kesulitan ekonomi). Atau boleh juga kita cari anak yatim untuk kita pelihara, kita cari orang-orang miskin untuk kita bagi sebagian dari makanan dan simpanan harta kita, dan kita bagikan obat-obatan dan pakaian gratis, dan seterusnya.

Kiranya di antara sekian rahasianya adalah 4 hal berikut ini;
 Dengan membantu sesama, kita seolah disuruh membuka mata dan melihat, betapa tidak layaknya bicara kesusahan, di tengah adanya banyak orang yang lebih susah dari diri kita. Terlalu banyak yang lebih susah, terlalu banyak yang lebih menderita, yang kemudian menjadikan kita tidak layak untuk bersedih. Apalagi berputus asa. Tidak berlama-lama sedih dan tidak berputus asa adalah awal yang bagus untuk memulai sebuah perubahan dan perbaikan. Apalagi bila ditambah dengan sebuah semangat. Semangat keluar dari permasalahan. Semangat bisa membuat kita memaksa diri kita untuk menatap langit, „tuk melangkah keluar menciptakan sejarah kehidupan yang baru.

 Dengan melihat ke bawah, kita malah bisa bersyukur. Bukan mengeluh. Bersyukur dan tidak mengeluh inilah yang kemudian membawa ridha Allah masuk di tengah kehidupan kita yang sedang bermasalah. Kata Allah, hamba-Ku mengatakan mencintai-Ku, tapi ketika Aku beri dia sedikit saja kesusahan, ia mengeluh. Katakan padanya, sesungguhnya ia adalah pembohong. (Hadits Qudsi). Dan teringatlah saya akan nasihat Imam Ali, sebuah takdir (kejadian), kita suka tidak suka, senang tidak senang, ridha tidak ridha, terima tidak terima, toh ia akan terjadi juga. Andai kita menerima, maka bukan saja kita akan mendapat pahala, tetapi juga mendapat pertolongan dari Allah. Pertolongan Allah bisa berarti dukungan dan kemudahan dari Allah. Terima saja, dan
syukuri. Lihat mereka yang lebih sulit, lebih susah dan lebih menderita.

 Di antara perbuatan yang membuat Allah senang adalah membantu sesama. Banyak sekali ayat-ayat Allah di dalam al Qur‟an yang Allah meminta kita untuk ringan membantu sesama. Bahkan sampai-sampai Allah memakai kata-kata, “Man dzalladzî yuqridullâha qardan hasanan… siapa yang bisa meminjamkan Allah…” yang kemudian Allah menawarkan ganti yang lebih baik, “… fa yudhâ-ifahû „adh-âfan mudhâ-afan…” Seolah-olah Allah yang perlu, dan „merengek-rengek‟ kepada kita. Subhanallah, tidakkah kita malu kepada Allah?
Ada sahabat yang bertanya kepada Rasul, wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami meminjamkan Allah, sedangkan Dialah yang memberi makan, dan tidak diberi makan? Dialah yang mencukupkan segala kebutuhan, dan tidak memerlukan siapapun juga?
Rasulullah menjawab, meminjamkan Allah adalah dengan memberi makan yang kelaparan, memberi minum yang kehausan, meringankan beban penderitaan sesama, dan bersedekah.
Akhirnya, ketika kita menjawab (memenuhi) permintaan Allah untuk membantu sesama, perbuatan itulah yang mengundang kesenangan dan keridhaan Allah. Kalau Allah sudah senang sama kita, sudah ridha, tidak akan ada kesusahan yang boleh menjadi bagian dari kehidupan kita.
“… Sesungguhnya Aku beserta kamu jika kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, beriman kepada Rasul-Rasul-Ku, membantu mereka, dan kamu pinjamkan Allah dengan pinjaman yang baik. Sesungguhnya Aku akan menghapus dosa-dosamu. Dan sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kufur di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (al Mâ-idah: 12).

Lihatlah, kalau Allah sudah beserta kita, maka tentu masalah kita akan menjadi bukan masalah lagi. Karena Allah begitu kuasa.
Dalam al Qur‟an bahkan Allah menyatakan, bukan saja akan mengembalikan pinjaman yang kita berikan dengan pengembalian yang lebih baik dan lebih banyak, Dia juga memberikan bonus berupa ampunan. Kiranya, bila dosa kita telah membuat begitu banyak kesusahan terjadi, maka ampunan Allah memang sebuah hal yang sangat-sangat kita perlukan;
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan pembalasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (at Taghâbun: 17).
Atau di lain ayat Allah menyatakan akan melipatgandakan amal hingga sepuluh (al An‟âm: 160) bahkan hingga 700x lipat (al Baqarah: 261). Tentu saja angka ini hanya sekedar menggambarkan betapa besarnya balasan Allah terhadap mereka yang mau melakukan amal baik (baca: sedekah).

 Ketika kita membantu sesama, membantu mereka yang sulit, sesungguhnya kita sedang “menghibur diri sendiri”. Sehingga kita bisa berkata-kata; Apalah kesusahan kita? Toh di tengah kesusahan kita, kita masih bisa berjalan, masih bisa melihat. Sementara itu banyak yang tidak bisa berjalan lantaran lumpuh, dan banyak yang tidak bisa melihat lantaran buta; Apalah penyakit kita? Toh di tengah penyakit kita, kita masih bisa berobat, masih bisa jalan ke rumah sakit, masih ada yang menemani. Sementara itu, banyak yang sakit, tapi tidak ada obat, tidak bisa berobat, bahkan tidak ada sanak saudara yang membantu; Apalah hutang kita? Toh banyak juga yang sudah mah punya hutang, ia pun masih dipenjara, dan disita hartanya; Apalah masalah kita? Ketika kita bermasalah, kita masih memiliki keluarga. Toh, tidak sedikit orang yang bermasalah dan keluarganya kocar-kacir.

2. Bâdiru bishshadaqah, fa innal balâ-a lâ yatakhaththâha, bersegeralah bersedekah, karena bala (kesulitan, kesusahan, atau permasalahan), tidak pernah bisa mendahului sedekah. (al Hadits).
Sedekah diyakini bisa berperan sebagai penolak bala. Kiranya, hadits di atas tersebut bisa menjadi hadits pendukung keyakinan ini. Dan nyatanya memang demikian. Dalam konteks permasalahan, khususnya permasalahan hutang, tentu seseorang akan menghadapi kemungkinan intimidasi dan kemungkinan-kemungkinan jelek lainnya. Hal ini biasa kalau memang punya hutang.
Utamanya kalau pas tidak ada kemampuan membayar. Maka, bersedekah, menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar.

Seorang kawan bercerita, bahwa ia tidak punya uang yang cukup untuk membayar hutangnya. Kalaupun ia bayarkan, maka bukan saja uang tersebut tidak cukup untuk membayar hutangnya (bahkan untuk angsuran saja tidak cukup), tetapi ia juga tidak punya uang lagi. Maka yang ia lakukan adalah membagi tiga. Sepertiga ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan “ongkos jalan”, sepertiga ia gunakan untuk “sedikit bahasa” untuk yang menagih, dan sepertiganya lagi ia sedekahkan. Dan ia mengaku, di kemudian hari ia berhasil membayar hutangnya.
Seorang jamaah majlis yang kebetulan punya jadwal jatuh tempo hutang yang kelewat batas, pun memilih mengeluarkan sedekahnya untuk “meredam marahnya” mereka yang menagih. Dan efektif! Menagih sih memang menagih tuh petugas, tapi “tensinya” sudah tidak tinggi.
Lain lagi cerita seorang kawan yang kena wasir. Suatu hari ketika ia terbaring lemah di rumah sakit, datanglah keputusan dokter bahwa ia harus dioperasi untuk wasirnya. Lantaran ia takut dioperasi, dan tahu keutamaan sedekah bahwa sedekah bisa menghilangkan bala (dan ia menganggap bala itu termasuk penyakit), maka yang ia lakukan adalah bertanya kepada istrinya, “mah, berapa tabungan yang kamu punya?” Istrinya menjawab, “… Sekian…” Lalu ia berkata, “Mah, daripada uang itu dipake buat operasi, mendingan Mamah pulang aja. Sedekahin tuh uang buru-buru. Papah pengen pulang besok.”
Tahu ga pembaca, wasirnya malah sembuh! Tanpa operasi. Hanya dengan jalan sedekah.
Ketika saya berceramah di Medan, saya “dicegat” oleh salah satu jamaah yang hadir. Lalu ia “memaksa” saya mendengarkan kisah dia, bahwa dia pernah selamat lantaran sedekah. Ceritanya, suatu hari ia disuruh membeli tiket untuk bosnya, tujuan Singapura. Entah bagaimana, tiket tersebut hilang. Bingunglah dia. Lalu dia mengingat, katanya sedekah bisa menolak bala. Tangannya otomatis merogoh kantong. Dan di kantongnya ada sekitar Rp. 32.000,- rupiah. Tanpa pikir panjang lagi, ia sedekahkan uang yang ada di kantongnya tersebut kepada tukang sapu di bandara. Tidak lama kemudian, ada pengumuman bahwa telah ditemukan tiket tujuan Singapura, dan bisa diambil di bagian lost and found!
Seorang sahabat yang sangat dekat, pernah selamat dari bahaya kecelakaan lalu lintas di jalan tol. Ceritanya, dengan kecepatan yang tinggi, mobil Escudonya ditabrak mobil Feroza dari belakang. Keras sekali benturannya, begitu tutur sang sahabat. Entah kejadian fisika seperti apa, nampaknya sedikit keajaiban terjadi. Mobil Escudonya engga apa-apa. Tidak lecet barang sedikitpun. Sedangkan mobil Feroza yang menabraknya hancur berat di bagian depannya. Kejadian tabrakan tersebut di sore harii. Cerita punya cerita, dia bertanya, apakah ini lantaran dia di pagi harinya dia mengeluarkan sedekah Rp. 200.000,- lalu dia diselamatkan Allah? Dengan penuh keyakinan yang mantap, saya menganggapnya iya. Entahlah apa yang terjadi andai di pagi harinya tidak diawali dengan bersedekah. Dan memang beginilah keutamaan sedekah. Jadwal ketabraknya tetap, tapi kekuatan dari tabrakan tersebut sudah tidak mempunyai kekuatan lagi. Sudah diredam oleh Allah karena sedekah. Semakin besar
sedekah kita, semakin besar bala yang bisa dihilangkan. Insya Allah.
Memang perlu keyakinan yang tinggi kepada Allah, bahwa memang bersedekah bisa menghilangkan bala. Maka wajar bila di surah al Furqân: 70, ada persyaratan iman sebelum amal saleh. Amal saleh yang terbangun dengan pondasi keimanan yang tinggi, akan mempunyai dampak kekuatan iman yang besar juga.

3. Wa man qudira ‘alaihi rizquhû, falyunfiq mimmâ âtâhullâh, dan barangsiapa yang sedang disempitkan rizkinya, maka hendaklah ia banyak-banyak menginfakkan hartanya yang diberikan Allah. (ath Thalâq: 7).
Banyak orang yang hadir ke Majlis Syifa untuk konseling permasalahan ini dan itu, termasuk hutang. Dan terapi (jawaban) yang diberikan adalah memperbanyak sedekah saja. Karena sedekah bisa mengundang datangnya rezeki yang lebih besar. Dan begitulah yang ditegaskan oleh Allah di ayat yang dikutip di atas. Pada saat sempit rizki, justru kita harus berbagi, justru kita harus bersedekah.
Sebagiannya ada yang bertanya, kan kami tidak uang, dan kami justru dalam keadaan sulit? Saudara, kalau kita mau, maka ada saja jalan untuk bersedekah. Di satu sisi, boleh jadi kita tidak punya uang (baca: uang cash), tapi lihatlah aset di rumah. Mungkin kita punya tanah yang bisa kita wakafkan, mungkin kita punya benda elektronik yang bisa kita jual untuk kemudian kita sedekahkan, mungkin kita punya emas yang bisa kita jual juga, dan mungkin kita
punya-punya yang lainnya yang bisa kita “kecilin”, alias kita jadikan ia uang. Atau kita sumbangkan langsung secara fisiknya tanpa menunggu ia menjadi uang. Nah, bila kita bisa begini, maka kemungkinan besar kita akan dimudahkan oleh Allah segala urusan dan diberikan rizki yang banyak.
Sebuah pengorbanan juga akan dilihat Allah. Kecil pengorbanannya maka kecil pula bantuan Allah yang datang. Besar pengorbanannya maka besar pula bantuan Allah yang datang. Tentu saja keikhlasan tetap menjadi prasyarat yang utama, karena biar bagaimanapun kecil dan besarnya perngorbanan adalah hal yang relatif sifatnya.
Dalam hal besar kecilnya pengorbanan, Allah berfirman, lan tanâlul birra hattâ tunfiqû mimmâ tuhibbûn, kalian tidak akan mencapai kebaikan, sampai kalian bisa mengorbankan apa yang kalian cintai. (Âli Imrân: 92). Dalam urusan hutang, maka kebaikan yang dimaksud adalah kemampuan menyelesaikan hutang. Sedang kebaikan bagi yang sakit adalah kesembuhan dari sakitnya, kebaikan bagi orang yang sedang surut bisnisnya adalah naik lagi bisnisnya, jaya lagi bisnisnya, dan seterusnya.
Sungguh aneh, jika kemudian ada orang-orang yang sedang bermasalah dalam urusan rezeki, lalu tidak menyambut penawaran dari Allah ini.
Seorang kawan bercerita, bahwa ia memiliki hutang sebanyak 70 juta. Menurut hitungan, tidaklah mungkin ia bisa bayar dan hampir saja menyerah. Lalu yang ia lakukan adalah mencari apa yang bisa ia “buang” untuk dijadikan senjata sedekah. Ketemu! Tidak jauh-jauh, yaitu handphone-nya. Ia jual saja handphone-nya, kemudian ia
sedekahkan. Tidak lama berselang, ia ditagih lagi, dan memang wajar ditagih. Ia minta waktu. Ia juga bercerita, bahwa ia sedang ada sedikit bisnis. Hanya bisnisnya ini tidak jalan. Padahal, katanya, kalau bisnisnya ini jalan, insya Allah keuntungannya bisa dipakai untuk memulai mencicil hutangnya. Tahu apa yang terjadi, orang yang menagih tersebut malah menawarkan bantuannya lagi! Dia mengajukan syarat, bahwa keuntungan pertamanya ia ambil seluruhnya dulu untuk membayar hutang dia kepadanya. Hingga lunas. Baru setelah lunas, keuntungan dibagi dua. Tentu saja ia setuju. Kiranya, kita memang harus yakin sama janji dan kuasa Allah. Dan begitulah, kalau Allah sudah berkenan menolong, tak ada yang bisa menghalangi. Lihat saja, niatnya nagih, malah kemudian menjadi mitra bisnis lagi.
Satu hal yang mau saya garis bawahi, bahwa sedekah memang bisa benar-benar membuat Anda menjadi bisa bayar hutang, menyelamatkan Anda dari kemungkinan bahaya, dan membuat rizki Anda menjadi berlipat-lipat. Sungguh, di lain waktu, saya akan membahas perihal keutamaan sedekah ini lebih lengkap dan lebih luas lagi. Insya Allah.
Fadilah sedekah itu ada empat; mengundang datangnya rezeki, menghalau kesulitan, menyembuhkan penyakit, dan memperpanjang umur. (al Hadits).
Bolehkah Bersedekah Dengan Berharap Sesuatu Di Balik Sedekah Tersebut? Cerita Motivasi dan Spirit Dari Allah dan Rasul-Nya
Lalu kemudian, yang menjadi pertanyaan, apakah boleh sedekah dengan mengharapkan “sesuatu” di balik sedekah yang kita lakukan?
Hal ini menjadi penting, sebab inti dari “menyelesaikan hutang segunung” adalah dengan jalan memperbanyak sedekah. Jangan sampai nanti kita diklaim, “Wah, saudara bersedekah ada maunya (yaitu mau dibebaskan hutang)”. Semoga Allah berkenan menunjukkan kita ke jalan yang benar, dan menyelamatkan kita dari kesalahpahaman akan ajarannya, serta melindungi kita dari keyakinan yang salah. Amin. Allah jualah Penentu Kebenaran Yang Hakiki.

Saudara, menurut pengetahuan kami (mohon koreksian bila ditemukan kesalahan) tidak mengapa saudara bersedekah sambil mengharap adanya bantuan Allah di masalah hutang saudara (atau di masalah-masalah yang lain). Karena ini adalah permintaan saudara kepada Tuhan saudara, Allah rabbul „alamin. Iman yang bagaimana lagi ukurannya dibanding kita percaya akan janji-Nya dan memohon kepada-Nya melalui pintu sedekah? Semakin besar tingkat kepercayaan kita kepada Allah, tentu akan semakin besar pula sedekah kita, pengorbanan kita.
Mengakadkan keutamaan sedekah dengan berharap masalah hutang selesai juga tidak terkait dengan ikhlas atau tidak ikhlas. Saudara boleh tidak sepaham dengan hal ini; bahwa masalah bisa dibeli dengan sedekah dan bahwa keinginan juga bisa dibeli dengan sedekah. Tapi insya Allah tulisan ini juga tidak bermaksud berkonfrontasi kepada mereka yang tidak setuju. Hal ini
dipaparkan, tidak lain tidak bukan agar tumbuh spirit, tumbuh semangat untuk giat beramal dan bersedekah.
Saudara, sedekah dikatakan tidak ikhlas adalah kalau kita ngomongin sedekah kita, mengungkitnya di sesama manusia (al Baqarah: 264). Tapi kalau kita berharap “imbal jasa” dari Allah, menurut keterbatasan kami, ini namanya “doa”, atau “permintaan”. Pikirkanlah, apalah lagi yang lebih utama, daripada mengharap hanya kepada Allah? Dan memasukinya lewat pintu yang diperintahkan oleh-Nya, yang salah satunya adalah pintu sedekah?
Syahdan, ada orang tua yang bilang kepada anaknya, “Nak… Jika kamu berhasil masuk ranking sepuluh besar, kamu akan ayah belikan sepeda.” Lalu terjadilah dorongan yang begitu besar di dalam diri si anak tersebut sehingga ia memacu dirinya untuk bisa menembus sepuluh besar. Tatkala anaknya bisa mencapainya, si anak “menagih janji”. Dan dapatlah janji tersebut, karena memang sudah dijanjikan.
Dan Subhanallah, Allah menawarkan dan menjanjikan surga bagi siapa yang mengerjakan perintah-Nya, dan mengancam dengan neraka bagi siapa yang menjauhi-Nya. Maka, salahkah bila kita juga mengharap surga dan berharap jauh dari neraka-Nya dengan beribadah kepada-Nya? Allah memberikan surga dan neraka sebagai motivasi dan ancaman. Bahkan dalam Ilmu Hadits, kita juga mengenal adanya hadits targhib wattarhib, hadis motivasi dan ancaman.
Berikut ini beberapa contoh hadits yang memberikan motivasi beribadah/beramal:
 Sa‟ad bin Abi Waqqash r.a. berkata, “Suatu hari kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau bersabda, apakah kalian tidak mau mendapatkan seribu kebaikan setiap harinya?! Seseorang yang hadir di situ bertanya, bagaimana caranya mendapatkan seribu kebaikan itu? Beliau menjawab, yaitu dengan bertasbih sebanyak seratus tasbih. Maka baginya tertulis seribu kebaikan dan darinya dihapus seribu kesalahan.” (HR. Muslim).
Nah, hadits ini memberikan motivasi untuk membaca tasbih sekurang-kurangnya seratus kali. Tapi apakah setelah tahu bahwa ia bisa mendatangkan seribu kebaikan dan menghapus seribu kesalahan, lalu kita tidak mau berbuat kebaikan? Tentu saja kita akan tetap melaksanakan kebaikan yang lain, tidak hanya bertasbih saja. Tapi hadits ini cukup untuk membuat kita menjadi gemar membaca tasbih. Lalu salahkah kita mengharap seribu kebaikan datang dan seribu kesalahan terhapuskan dengan membaca seratus tasbih? Tidak salah, sebab memang Rasulullah yang menawarkan hal tersebut. Dan ini tidaklah mengganggu apa yang disebut dengan “keikhlasan”.

 Abu Dzar berkata, berkata Rasulullah, segala ucapan dari kalian bisa menjadi sedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, mengajak kepada kebaikan adalah sedekah dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Hal itu dicukupi dengan dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha.” (HR. Muslim).
Di dalam hadits tersebut, Rasul memberikan motivasi bagi seseorang yang mau melaksanakan ibadah shalat
sunnah Dhuha. Disebut keutamaannya mencukupi “keperluan” sedekah dengan hanya mengerjakan shalat sunnah Dhuha dua rakaat. Tapi apakah kemudian kita yang membacanya lalu tidak mau sedekah lagi? Tentu saja tidak. Kita tetap akan bersedekah kalau memiliki kelebihan uang. Hanya, setelah tahu keutamaan shalat sunnah Dhuha yang demikian besarnya, ada kemungkinan bagi seseorang lebih giat lagi melaksanakan shalat sunnah Dhuha ini. Lalu salahkah kita berharap akan fadilah shalat sunnah ini? Jelas tidak salah, sebab Rasulullah sendiri yang menawarkannya dan memberitahukannya.

 Abu Hurairah berkata, bahwa ada fakir miskin Muhajirin yang datang kepada Rasulullah, kemudian mereka berkata kepada beliau, “Enak betul orang-orang yang memiliki harta. Karena mereka meraih derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat seperti kami dan puasa seperti kami juga, sedangkan mereka memiliki kelebihan berupa harta yang dengannya mereka dapat melaksanakan ibadah haji dan umrah serta berjihad dan bersedekah.”
Lalu Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan sesuatu yang dengannya kalian akan bisa mengejar kelebihan mereka dan dengannya pula kalian akan mendahului orang yang setelah kalian. Tidak ada orang yang mengungguli kalian kecuali jika dia mengerjakan hal yang sama dengan yang kalian kerjakan.”
Mereka menjawab, “Mau ya Rasul.”
Beliau meneruskan, “Kalian membaca tasbih, tahmid dan takbir setelah selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Abu Shalih, perawi dari Abu Hurairah, ketika ditanyakan tentang bagaimana mengucapkan zikir tersebut, dia berkata, “Bacalah subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar, sehingga masing-masing dibaca tiga puluh tiga kali.” (Muttafaq „alaih).

***

Begitulah halnya dengan sedekah. Allah dan Rasul-Nya memberikan spirit, memberikan motivasi, memberikan stimulus, bahwa bila kita mau bersedekah, maka salah satu keutamaannya adalah kita dijauhkan dari bala dan dijauhkan dari kesulitan (di samping kita akan dijauhkan dari penyakit dan ditambah rezekinya). Apalagi janji-Nya tentang seputar pelipatgandaan amal banyak diabadikan di dalam al Qur‟an. Alias Allah sendiri (di luar hadits) yang menyatakan/mengundang seseorang beramal dengan imbalan balasan kebaikan yang lebih baik lagi. Contohnya adalah apa yang tertera di dalam ayat berikut ini;
“Barangsiapa yang melakukan amal baik, maka baginya sepuluh kali lipat amalnya…” (al An‟âm: 160).

“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan satu benih yang menumbuhkan tujuh bulir, di mana pada tiap-tiap bulir mengandung seratus biji.
Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki…” (al Baqarah: 261).
Maka tidaklah salah bila kemudian kita juga berharap balasan dari Allah. Dan sudah barang tentu, bila hal ini salah, maka Allah sendiri tidak akan menjanjikannya.
Lihat lagi ayat berikut ini, yang sekilas nampaknya akan kontradiksi:
“… Dan apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya untuk diri kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah…”(al Baqarah: 272).
Tapi ternyata ayat ini bukan menunjukkan ketidakbolehan meminta kepada Allah lewat jalan amal. Ayat ini menunjukkan larangan beramal sebab manusia, tapi untuk mencari ridha-Nya dalam beramal. Dan perhatikan sekali lagi. Malah, bukankah dengan Allah mengungkapkan keutamaan beramal di jalan-Nya, di ayat-ayat sebelumnya, itu juga menunjukkan keridhaan-Nya memberi lebih, dan ridha kita memintanya? Ini bahkan dibuktikan dengan dilanjutkan di ayat tersebut juga (di ayat yang sama) dengan kalimat:
“… Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup. Sedikitpun kamu tidak akan dianiaya.” (al Baqarah: 272).
Dan juga lihat motivasi dari Allah di ayat berikut ini;
“Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (al Baqarah: 277).
Jadi, ini tidak terkait dengan ikhlas dan tidak ikhlas. Inilah hubungan termanis antara Allah dan hamba-Nya, Rasul dan ummatnya. Bila kita baik kepada Allah dan Rasul-Nya, mematuhi apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka keperluan kita akan dicukupkan, dan kita akan ditolong.
Sementara itu, teruslah melatih diri, bahwa tanpa iming-iming surga dan tanpa ancaman neraka, kita bisa juga beramal, dengan tujuan yang satu; Ridha Ilahi. Kita kan tidak bisa selamanya seperti anak kecil, yang baru mau menyapu kalau bundanya bilang, “Nak, tolonglah menyapu… nanti ibu tambahin deh uang saku…” Tidak. Kita harus melangkah menjadi orang dewasa. Suatu saat, ketika kita sudah dewasa dalam beragama, maka kita tidak perlu diiming-imingi uang saku untuk menyapu. Kita akan menyapu, dengan atau tanpa uang saku tambahan. Mudah-mudan Allah senantiasa memberikan bimbingan bagi kita.
Jadi insya Allah, kalau saudara berharap sesuatu dari amal saudara, sementara itu pengharapannya hanya kepada Allah, maka tidak mengapa. Jangan mempersulit diri dengan mengatakan bahwa ini tidak etis. Etis-etis saja. Wong berharapnya sama Allah. Yang tidak etis itu kalau justru kita tidak meminta kepada Allah. Dan kemudian kita membicarakan amal kita di mana-mana untuk tujuan dipuji (sedangkan bila tujuannya untuk ditiru saja tidak ada salahnya; siapa tahu bisa menjadi teladan). Dalam shalat saja kita dimotivasi oleh Allah dan
Rasul-Nya, bahwa kalau saja kita mau berjama’ah, maka pahalanya akan dilipatgandakan dua puluh derajat lebih banyak daripada shalat sendiri. Tentu sebagai seorang muslim, ketika shalat berjama‟ah ini menjadi sifat kita, maka kita tiada lagi perlu melihat bahwa shalat berjama‟ah ini mengandung keutamaan dua puluh derajat lebih tinggi daripada shalat sendiri. Artinya, setelah pembelajaran terjadi, kita bisa shalat tanpa memikirkan lagi tentang pahala. Begitulah yang diharapkan dari motivasi tentang fadilah sedekah. Sebagai sebuah pembelajaran juga kiranya.
Tapi baiklah, mudah-mudahan ketika kita sudah bisa bilang, “masa sama Allah hitung-hitungan (dalam beramal)…” Mudah-mudahan saat itu kita sudah dimasukkan ke dalam derajat keimanan yang tinggi yang tidak perlu lagi semacam imbal saja dari Allah. Sekali lagi, latihlah diri kita dengan amal-amal yang kita lakukan hanya untuk ridha Allah.
Saya ingin memberitahu sedikit rahasia kecil; Kita tidak perlu risau bahwa apakah dengan tidak kita katakan amal kita untuk apa, lalu Allah tidak memperhatikan keperluan kita? Allah Maha Tahu. Dia Tahu apa yang menjadi kebutuhan kita. Menjadi senang, adalah dampak positif dari kedekatan hubungan dengan Allah, tanpa perlu diminta. Menjadi kaya, adalah dampak positif dari kedekatan hubungan dengan Allah, tanpa perlu diminta. Selamat dari marabahaya, adalah juga dampak positif dari kedekatan hubungan kita dengan Allah, dan inipun tanpa perlu diminta. Begitu juga sebaliknya, kita tidak menginginkan kesusahan, tapi ia akan menjadi dampak yang pasti ada bila kita jauh dari
Allah. Menjadi miskin (bisa juga miskin hati sebab serakah), adalah juga dampak yang pasti ada, bila kita memang lupa akan Allah. Dan akhirnya, kehidupan yang dipenuhi masalah, adalah juga menjadi dampak yang pasti ada, bila kita memang jauh dari Allah.
Tapi sementara itu, permintaan yang dinyatakan – baik lewat lisan, apalagi jika dibarengi dengan amal saleh – tidaklah juga menyalahi aturan. Allah yang meminta kita untuk meminta kepada-Nya. Bahkan di penghujung surah al Furqân, Allah menyatakan tidak akan memperhatikan kita andai tidak ada permintaan dari kita.
Saudara, mungkin suatu saat saudara merasa ada sesuatu hal yang bakal mengganggu keikhlasan saudara. Katakanlah kejadiannya begini: Dulu pernah kita menolong anak si Fulan. Tidak tahunya, sekarang kita yang membutuhkan pertolongan. Datanglah kita kepada si Fulan tersebut, karena kita memandang keadaannya sudah berubah. Si Fulan tersebut sudah kita anggap mampu. Tapi apa yang terjadi, si Fulan menolak membantu. Saudara, bila kemudian saudara katakan kepada manusia yang lain, wah, kurang ajar betul dia itu. Dulu anaknya waktu susah saya bantu. Sekarang saya minta bantuan dan dia bisa membantu, dia katakan tidak bisa membantu. Saudara, bila saudara melakukan hal ini, barulah saudara masuk dalam kategori tidak ikhlas.
Lalu bagaimana supaya selamat? Kan manusia juga punya sifat keluh kesah? Sedangkan kalau keluh kesah kita tidak kita keluarkan, jadi penyakit katanya. Nah, bila begini, keluh kesahkan saja kepada Allah. Insya Allah
saudara akan selamat. Tidak mengapa berkeluh kesah kepada Allah. Bahkan Dia menunggu kita berkeluh kesah kepada-Nya. Ini sama sekali tidak menjadikan saudara kehilangan keikhlasan. Misalnya dengan mengadukan, “Ya Allah, sakiiit hati saya… Saya dulu pernah membantu si Fulan di saat dulu dia susah. Tapi kini ketika saya yang susah sedang si Fulan senang, dia tidak membantu. Ya Allah, saya tidak mau merusak amal saya dengan mengadu kepada selain Engkau Rabb. Makanya saya adukan kepada Engkau saja. Rabb, saya tidak minta si Fulan Engkau balas. Karena mungkin dia tidak tahu. Saya hanya meminta Engkau hadirkan bantuan untuk saya lewat jalan yang lain, dan Engkau sadarkan si Fulan. Maafkan kesalahan saya ya Rabb, bila kesalahan-kesalahan saya itulah yang membuat diri saya susah saya sekarang…”
Begitulah. Dengan mengadukan kepada Allah, sesak di dada hilang, dan saudara tetap selamat, tanpa merusak keikhlasan.
Sekali lagi, maaf bila saya mengulang dan mengulang, tidak mengapa sedekah dengan memiliki niat yang sifatnya mungkin “duniawi”; pengen kaya, pengen senang, pengen bebas masalah, pengen tercapai keinginan. Asal, seluruh niatan itu saudara mintakan kepada Allah. Misalnya dengan mengatakan (secara rahasia, hanya kepada Allah), “Ya Allah, Engkau tahu apa yang menjadi kesulitan saya… Hari ini, saya sudah usap beberapa kepala yatim. Saya juga sudah memberikan sedikit makanan dan minuman untuk mereka yang tidak punya. Ya Allah, saya mengatakan ini hanya kepada-Mu, dan hanya di depan-Mu, yang sebenaranya Maha Tahu apa yang saya lakukan. Tapi ya Rabb, sebagai manusia, saya juga memiliki permintaan, dan bukankah permintaan dari hamba-Mu adalah sesuatu yang Engkau sukai? Ya Rabb, tolonglah supaya saya bisa
terbebas dari kesulitan yang sedang saya hadapi. Semoga amal baik saya bisa Engkau terima, dan semoga amal buruk saya bisa Engkau hapuskan.” Sementara itu saudara harus menyembunyikan amal saudara dari penglihatan manusia. Cukuplah Allah yang tahu.
Apakah Kita Masih Mendapatkan Bahagian Di Akhirat, Sebab Kita Meminta Bahagian Di Dunia?
Insya Allah, saudara juga tetap akan mendapatkan bagian di akhirat kelak, meskipun saudara “meminta” bagian dari “keuntungan” sedekah di dunia ini. Karena Allah berjanji, akan menyempurnakan balasan seorang mukmin yang bersedekah di akhirat kelak. Dan siapa sih mukmin? Mukmin kan, bisa kita bawa kepada pengertian bahwasanya dia percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, termasuk ketika dia percaya juga akan janji-janji-Nya dan janji-janji Rasul-Nya.
Memang, ada firman Allah yang mengatakan bahwa ada seseorang yang hanya memohon (hanya menghendaki) kebaikan di dunia, sementara itu ia tidak mendapatkan kebaikan di negeri akhir (al Baqarah: 200, al Isrâ: 18-19). Tapi konteks firman tersebut bukan pada masalah di atas (beramal dengan berharap sesuatu dari Allah). Yang demikian itu terjadi apabila kita melakukan sesuatu tanpa melibatkan Allah, membelakangi Allah, dan riya di hadapan manusia. Contoh;

 Seseorang punya modal, lalu berdaganglah ia. Dalam berdagang pun ia bawa kejujuran dan profesional. Ia pun tahu tentang teori dagang dengan baik, dan
berpengalaman. Ditambah lagi barangnya baik. maka secara dunia, dia insya Allah wa bi-idznillah mendapatkan keuntungan dari dagangannya. Hanya sayang, dalam berdagang dia tidak shalat. Maka berlakulah firman Allah tersebut; dagangan dapat, untung dunia dapat, tapi Allah tidak ia dapatkan. Allah bisa saja “mewujudkan” ketidakberkahan. Maka jadilah ia untung, tapi keuntungannya tidak membawanya kepada kehidupan yang berkah.

 Seseorang berusaha. Usahanya bener, lurus, lempeng. Usahanya juga engga ngerugiin orang, dan halal. Tapi lantaran tidak mengeluarkan zakat dan sedekah, maka dia tetap dianggap tidak melibatkan Allah. Maka, boleh jadi, dia mendapatkan dunianya. Maksudnya tetap untung. Tapi usahanya tidak membawanya dekat kepada Allah. Untung dapat, Allah tidak dia dapatkan.

 Seseorang sakit. Lalu dia ke dokter. Berolehlah dia obat, dan ditambah dia juga rajin ngejaga diri, ngejaga pantangan. Boleh jadi ia memang sembuh, sebab ukurannya memang kalo orang berobat ya sembuh, insya Allah. Tapi kalo dalam berobat ia tidak shalat, tidak memperbaiki diri, tidak berdoa melibatkan Allah, maka walaupun sehat dapat, Allah tidak ia dapatkan. Lalu bagaimana caranya mendapatkan Allah juga di samping kesembuhan? Caranya dengan berdoa kepada Allah, berobat sebagaimana biasa, dan berusaha memperbaiki sikap dan sifat. Siapa tahu penyakit ini adalah pesan dari Allah untuk mengingat diri-Nya. Nah, jika begini, sembuh dapat, Allah juga dapat.

 Seseorang mau punya uang, tapi caranya salah; merampok, berjudi, jadi bandar, jual obat terlarang, korupsi, membuat proyek fiktif, dan lain sebagainya. Kalau ini dilakukan, barulah seseorang masuk kepada kategori “hanya mau dunia saja, sedang akhirat tidak ia dapatkan”. Sedangkan yang ia dapat sendiri adalah sesungguhnya bukan kesenangan dunia, melainkan neraka dunia. Lihat saja ujung kehidupan orang-orang yang seperti ini, sengsara! Lebih banyak susahnya daripada senangnya.

 Seseorang bersedekah karena ingin dipandang. Dalam konteks ayat 200 surah al Baqarah, dan al Isra: 18-19, ia tetap mendapatkan pujian, bisa jadi. Tapi di mata Allah? Nol besar, alias tidak mendapatkan pujian apa-apa. (al Baqarah: 264).
Tapi, kata Allah, ada sebagian lagi yang mendapatkan dunia dan akhiratnya, sebab dalam berjalan di dunia, ia tidak melupakan Allah;
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, ya Tuhan kami berilah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al Baqarah: 201).
Jadi, kalau bisa, kita menjadi manusia-manusia,yang dunia dapat, akhirat dapat. Tapi, kembali dalam konteks sedekah (baca: amal), di mana seseorang mengharapkan “bayaran instan” di dunia juga, maka ini tidak berarti “dunia dapat, tapi akhirat tidak dapat”, tidak demikian. Ia tetap dapat bagiannya di akhirat, karena memang Allah berjanji akan “menyempurnakan balasannya orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, nanti di hari tidak ada perlindungan kecuali perlindungannya Allah.”
Sementara itu ada yang bilang, ada firman Allah juga yang bunyinya walâ tamnun tastaktsîr, jangan memberi dengan mengharap dapat lebih banyak lagi. Coba sekali lagi lihat ayat ini utuh, bahwa ini dibawa kepada kondisi di mana kita beramal pamrih; minta dilihat, minta imbal, dari manusia, dus berharap sesuatu dari manusia. Sedangkan meminta kepada Allah? Maka ini adalah bagian dari keutaman beramal di jalan-Nya. Malah, mintalah sebanyak-banyaknya kepada Allah. Isa „alaihissalam diriwayatkan pernah bersabda di depan murid-muridnya, kalau aku meminta, maka aku tidak akan meminta sejumput jerami kepada Allah. Maksudnya, mintalah jangan yang sederhana kepada Allah Yang Maha Kuasa. Mintalah sesuai kepentingan kita, sesuai kebutuhan kita. Toh Allah juga bilang, iyyaka na‟budu wa iyyaka nasta‟în, kepada-Mu lah kami beribadah dan kepada-Mu lah kami memohon; kepada siapa lagi kita meminta selain kepada Allah, tentu setelah kita beribadah kepada-Nya, barulah kita layak meminta kepada-Nya. Di firman Allah yang lain juga dinyatakan, ud‟ûnî astajib lakum, mintalah pada-Ku, niscaya Aku akan kabulkan. Laksana kita punya orang tua, masakan kita minta kepada orang tuanya orang lain? Laksana permintaan istri, masakan dia meminta kepada suami orang lain?

Allah mewanti-wanti ikhlas dan ketidakikhlasan dengan berfirman melalui dua ayat berikut ini;

1. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya
dan menyakiti perasaan si penerima. Seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang seperti itu laksana batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah ia bersih tidaj bertanah. Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al Baqarah: 264).

2. “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis akan datang. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (al Baqarah: 265).
Insya Allah, ketika kita berharap kepada Allah, inilah wujud iman yang manis, wujud dari harmonisasi hubungan yang indah antara makhluk dengan khaliqnya, antara manusia dengan penciptanya, antara yang diberi dengan Pemberinya, dan antara yang dipenuhi dengan Yang Memenuhinya. Sekedar mengulang, tidak ada perkara etis dan tidak etis, atau masuk ke dalam konteks “hitung-hitungan” dengan Allah ketika kita berharap kepada-Nya ketika kita beramal. Inilah juga wujud doa kita yang sangat efektif. Yakni ketika kita mampu berdoa bukan sekedar dengan lisan, melainkan juga dengan tindakan, dengan amal.

***

Bila penjelasan ini masih kurang juga, saya kutipkan sesuatu yang menarik. Yaitu memperhatikan firman Allah di surah al An‟âm: 161-163, ketika Dia mengajarkan kita harus berbuat hanif, berbuat lurus dan ikhlas; seraya mengabdikan diri (hidup dan mati) hanya untuk Allah dan tidak menyektukutan-Nya. Apanya yang menarik? Karena di ayat sebelumnya (al An‟âm: 160), Allah menjelaskan keutamaan amal dengan ganjaran sepuluh kali lipat. Jadi, pengharapan balasan amal kepada Allah, dan hanya dari Allah, sama sekali tidak menyalahi teori keikhlasan. Ayat 161-163 surah al An‟âm ini kerap dipakai oleh sementara pendapat yang mengatakan bahwa beramal itu jangan pamrih terhadap Allah. Dengan pemaparan singkat di atas, rugilah manusia, bila ditawarkan sesuatu dari Allah tidak diambil. Keutamaan amal adalah Allah yang menawarkan, kita tinggal mengambilnya saja.
Sekali lagi saya kutipkan apa yang sudah dikutipkan di atas, bahwa hal ini menjadi penting saya bahas, sebab inti dari “menyelesaikan hutang segunung” adalah dengan jalan memperbanyak sedekah. Jangan sampai nanti kita diklaim, wah, saudara bersedekah ada maunya (yaitu mau dibebaskan hutang). Akhirnya kita tiada “darah” dan tiada “gairah” dalam beramal. Semoga Allah berkenan menunjukkan kita ke jalan yang benar, dan menyelamatkan kita dari kesalahpahaman akan ajaran-Nya, serta melindungi kita dari keyakinan yang salah. Amin. Allah jualah Penentu Kebenaran Yang Hakiki.

***

Dan sebelum mengakhiri tulisan sesi ini, saya ingin berpesan beberapa hal tentang sedekah;

1. Jaga niat. Jangan sampai kita berniat memang tidak mau bayar. Kata Rasul, ketika kita berniat membayar hutang, maka sesungguhnya Allah sudah akan memudahkan kita untuk bisa membayar hutang tersebut. Dan jangan sampai menjadikan sedekah sebagai olok-olok belaka. Yakni, ketika kita bersedekah hanya menjadi tameng supaya kita tidak bahaya. Lalu setelah lepas dari bahaya kita sama sekali tidak mau bersedeklah lagi. Bersedekahlah sebab iman, supaya bisa meningkat dan meningkat terus sedekahnya. Dan sekali lagi jaga niat. Jangan sampai kita memang niat ngempang!

2. Bersedekah bukan berarti menghentikan ikhtiar duniawi kita. Bukan. Jangan mentang-mentang dikemukakan salah satu fadilah sedekah adalah menyembuhkan penyakit, misalnya, lalu kita jadi berhenti berobat. Terus saja berikhtiar mencari obat. Bersedekah adalah untuk menjadikan ikhtiar kita menjadi lebih berkemungkinan berhasil. Sebab apa? Sebab di dalamnya kita sudah melibatkan Allah lewat jalan sedekah.

3. Bersedekahlah dengan terus meningkatkan ibadah-ibadah yang lain; shalatnya lebih ditepatwaktukan (kalau bisa latih diri untuk shalat berjamaah), shalat-shalat sunnah mulai ditegakkan (terutama shalat tahajjud, shalat taubat, shalat hajat dan shalat dhuha), memulai puasa sunnah (terutama puasa senin kamis dan kalau bisa lagi, puasa
daud/sehari puasa sehari berbuka), dan ibadah-ibadah ritual lainnya.

4. Bersedekahlah dengan uang yang halal. Bersedekah dengan uang yang haram, ibarat mencuci pakaian dengan air yang kotor. Lihat, bukan saja ia tidak bersih, malah ia akan semakin kotor. Bersedekah dengan uang haram, atau dengan sesuatu yang haram, sama saja dengan memperolok-olokkan agama Allah. Bertaubatlah dulu dari segala apa yang sudah kita kerjakan yang sifatnya keburukan, dosa dan maksiat. Agar semakin terang kehidupan kita dunia dan akhirat.

5. Jangan menunda-nunda bersedekah. Kita tidak tahu kapan datangnya kematian. Sedangkan kalau kematian sudah datang maka tidak ada lagi kesempatan kita untuk bersedekah. Di antara sebab lain jangan menunda-nunda bersedekah adalah kita juga tidak pernah tahu kapan kita “jatuh bangkrut”, atau kapan kita berubah pikiran. Begitu terlintas niatan untuk bersedekah, sudahlah, cepat saja keluarkan sedekah tersebut. Kalau kita kebanyakan timbang timbing, kebanyakan berpikir, maka biasanya yang lebih sering terjadi adalah kita tidak jadi bersedekah.

6. Patut pula saya beritahukan, “sedekah jor-joran” atau “sedekah yang sangat banyak” hanya diperbolehkan Rasulullah kalau seseorang “masih jauh dari meninggal”. Kalau seseorang sudah sekarat, tidak boleh ia (tanpa persetujuan ahli warisnya) menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Karena dikhawatirkan Rasulullah, ia akan menjadikan ahli warisnya menjadi miskin. “Sedekah jor-joran” ini
sangat diperlukan (sebagaimana sudah dibahas di atas), bagi seseorang yang memang sangat sangat membutuhkan pertolongan Allah dalam waktu yang cepat. Misal ia sedang dililit hutang yang tidak imbang lagi dengan asetnya, sedang aset satu-satunya adalah rumahnya yang juga sangat sederhana. Katakanlah, hutangnya seratus juta, dan rumahnya kalau dijual sekalipun hanya tersisa uang dua puluh juta. Dalam kondisi ini, kalau ia masih sehat, ia bisa “bertaruh” untuk menunjukkan pengorbanannya di mata Allah. Ia bisa jual ia punya rumah, sisakan sedikit untuk mengontrak rumah kecil dan hidup barang beberapa bulan, selebihnya “buang” untuk disedekahkan. Inilah hal yang luar biasa kalau bisa dilakukan oleh seseorang yang sangat-sangat perlu pertolongan Allah (lihat kembali pembahasan-pembahasan di atas).

7. Latih diri kita untuk bisa bersedekah meskipun kesusahan tidak ada (atau sudah terlewati). Kenapa? Biar bagaimanapun kita akan melewati pengadilan kubur dan pengadilan akhirat. Tidak ada satupun yang tahu bagaimana keadaannya nanti; selamatkah atau celaka. Maka dengan terus menerus merajinkan diri untuk bersedekah, kita bagaikan membuat perlindungan dan penyelamatan diri sendiri untuk bisa melewati dua pengadilan tersebut dengan baik. Ingat, selain doa anak yang saleh dan ilmu, sedekahlah (sebagai salah satu wujud amal saleh) yang bisa kita bawa ke alam kubur dan ke alam akhirat.

8. Bersedekahlah yang tulus, yang ikhlas. Jangan pamer kepada manusia. Bisa sia-sia sedekah kita. Sementara itu, berharaplah kepada Allah dan memintalah
kepada-Nya. Tapi ingat, jangan juga bersedekah hanya untuk menjadikan kita terbebas dari hutang. Dan jangan bersedekah cuma untuk menjadikan penyakit kita sembuh, atau bisnis kita menjadi jaya kembali. Jangan. Sayang. Soalnya kita bisa dapat lebih dari itu. Jadikan “kebutuhan-kebutuhan” kita itu hanya menjadi sebuah doa penyerta saja. Tujuan utama kita adalah mencapai ridha-Nya Insya Allah, kalau Allah sudah ridha, hutang akan beres, penyakit akan hilang, dan masalah akan terbantukan. Insya Allah, amin.

9. Baik sangka kepada Allah. Yakinlah bahwa biar bagaimanapun bersedekah akan membawa kebaikan kepada kita. Allah pasti akan membalas, entah itu dalam bentuk datangnya rezeki, hilangnya penyakit, terhalaunya kesulitan, panjang umur, atau bahkan untuk menghapus dosa-dosa kita. Salah satu tanda bahwa kita berkurang baik sangkanya kepada Allah dalam hal sedekah adalah mempertanyakan kenapa sedekah koq terasa “belum bunyi” di dalam keinginan kita. Pupuk iman bahwa sedekah kita pasti “bunyi” dan dibalas oleh Allah subhanahu wata‟ala, hanya kita perlu membuka mata dan telinga terhadap karunia dan nikmat Allah.

10. Tingkatkan terus doa kita. Bersedekah diyakini sebagai berdoa lewat amal, tapi sementara itu kita pun harus tetap berdoa dan berdoa kepada Allah. Doa itu senjatanya orang mukmin. Dan kata Allah, tidak satupun seseorang yang berdoa melainkan akan Allah kabulkan, baik di dunia ini maupun ditunda di akhirat kelak, atau disimpan sebagai kebaikan orang tersebut.

***

Subhanallah, kita sudah sedikit banyak mengupas tentang bersedekah. Hampir semua buku Wisata Hati menyuarakan kepedulian terhadap sesama ummat manusia dan alam. Ah, pembaca, saya pribadi memohon doa dari pembaca sekalian, agar kiranya saya dan keluarga saya bisa menjadi ahli sedekah, ahli taubah dan ahli ibadah. Saya dan keluarga juga mendoakan pembaca sekalian agar dicatat Allah sebagai seorang yang memiliki iman dan memiliki ketakwaan, agar selamat dunia dan akhirat kita semua. Amin.
Allah bilang lewat Rasul-Nya, bahwa siapa saja yang bersedia membebaskan kesulitan orang lain, maka ia pun akan dibebaskan segala kesulitannya. Bukankah hutang pun termasuk kesulitan? Maka bersegeralah mencari mereka yang lebih sulit dari kita „tuk kita bantu kesulitannya.

***

Ya Allah, kemampuan hamba dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hamba begitu terbatas, sedang Kemampuan Engkau tidak berbatas. Ya Allah Engkau lihat begitu rajin hamba membuat masalah, tapi begitu pengecut hamba dalam menyelesaikan masalah. Adakah bantuan-Mu bagi orang hina macam hamba?
Rabb, kalau bersedekah dan memperbaiki diri menjadi cara yang efektif untuk menyelesaikan hutang segunung, maka jadikan hamba-Mu ini orang-orang yang mampu bersedekah dan memperbaiki diri. Amin.



2 comments:

Note: Only a member of this blog may post a comment.