20 January, 2012

Menyikapi Kesempurnaan Islam

Dulu pernah ada orang berkebangsaan Jepang, sarjana S3,  ingin menyelidiki kitab-kitab agama (Hindu/Weda, Taurat, Injil, dan Al- Qur’an). Ia sendiri beragama Shinto. Setelah menyelidiki dan mempelajarinya, akhir dari kesimpulannya adalah yang terbaik itu Al-Qur’an.

Karena ia bukan seorang Muslim, maka ia tertarik kepada Al-Qur’an. Ia menilai, kitab suci umat Islam ini begitu lengkap. Kini ia ingin melihat umat Islam dan di mana negeri yang banyak penduduknya beragama Islam. Ia pun pergi ke Indonesia. Ia begitu heran melihat kehidupan negara ini. Kitab agamanya lebih sempurna, lengkap, dan peraturan tata cara hidup ada di dalamnya, tetapi negara ini korupsi lebih besar, sampah di mana-mana, ketidakjujuran merajalela, ketegasan hukum tidak ada, padahal dalam Al-Qur’an jelas aturannya. Ini sangat menyedihkan !

Marilah kita buka QS.  Al-Maaidah:3.  “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu, ”
Ayat itu menunjukkan, risalah yang diemban oleh Rasulullah Saw sudah selesai. Ayat tersebut juga bermakna, Al-Qur’an merupakan penyempurna kitab-kitab Allah Swt yang di turunkan sebelumnya. Kitab-kitab sebelumnya diturunkan-Nya untuk kaum tertentu dan isinya sesuai dengan konteks keadaan manusia saat zaman kitab itu diturunkan, termasuk dari sisi daya nalar atau intelektualitasnya.

Al-Qur’an diturunkan kepada nabi terakhir, Muhammad Saw, untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Karenanya, kandungan Al-Qur’an lebih sempurna dibandingkan dengan kitab-kitab sebelumnya. Hal ini berbanding lurus dengan tingkat intelektualitas manusia yang makin maju.

Sangat banyak ayat Al-Qur’an yang menantang dan mengajak manusia untuk menggunakan pikirannya (Afaala ta’qilun? Apakah kalian tak berpikir?). Dengan kata lain, butuh kecerdasan untuk memahami Al-Qur’an.
Dalam aplikasinya, pada pernikahan/rumah tangga, kita ambil contoh tentang perceraian, dalam agama Katolik pasangan suami-istri tidak boleh bercerai. Islam membolehkan perceraian, tapi penceraian itu dimurkai Allah.  Apa maknanya?
Umar berkata, ia mendengar Rasullah Saw bersabda, “Sesuatu yang halal tapi dibenci oleh Allah adalah talaq (penceraian)“ (HR. Abu Daud dan Hakim).

Bedakan susunan kalimat tersebut dengan susunan kalimat berikut: ”Sesuatu yang dibenci Allah, tetapi halal adalah talaq (penceraian).” Kiranya bila kita jeli, kita akan mengecap rasa kata yang berbeda sekaligus arti yang sekilas tampak sama, tapi memiliki kedalaman makna yang berbeda.
Pada kalimat pertama, penekanan ada pada dibenci Allah sedangkan pada kalimat kedua penekanan terdapat pada kalimat halal.

Tentunya bukan sebuah kebetulan bila Rasulullah Saw berkata dengan susunan kata atau redaksi seperti pada kalimat pertama. Semuanya penuh makna yang harus kita gali dengan seksama, termasuk penggalian dari sudut pandang semantik (ilmu tentang makna kata dan kalimat).
Sebagai perbandingan, mari kita rasakan perbedaan kalimat berikut: ”Dia itu pinter tapi judes”. Yang menjadi penekanan pada kalimat ini adalah sikap judesnya (negatif). Bandingkan dengan: “Dia itu judes tapi pinter.”  Yang menjadi penekanan adalah pinternya (positif).  

Apa yang bisa kita tarik dari redaksi kalimat “ Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah penceraian“, tak lain bahwa kita mesti berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk bercerai, karena penekanannya lebih pada kebencian Allah, bukan pada halalnya penceraian tersebut.
Dari contoh diatas dapat kita lihat  bahwa Islam merupakan agama yang mengajak manusia berpikir kritis, mempergunakan akalnya secara optimal dalam menggali pesan-pesan Ilahi. Islam merupakan agama yang sempurna, sudah semestinya kita selalu berupaya meningkatkan kualitas keislaman kita.

KITA sering merasa hebat menjadi Muslim sehingga kita tidak berupaya untuk meningkatkan ilmu agama kita, untuk menjadi mu’min, muttaqin, muhsin, dan mukhlis.
Di dalam kehidupan kita harus berusaha mencapai tingkat yang ulama. Ulama artinya orang yang berilmu dan mumpuni (teruji) dalam bidang ilmu yang ia tekuni. Ilmu itu bisa ilmu agama Islam ataupun ilmu-ilmu lainnya yang menguatkan Islam, seperti ilmu falaq, ilmu bumi, ilmu kimia, dan astronomi. Jadi, ulama itu bukan hanya yang mengusai ilmu agama karena Al-Qur’an merupakan sumber dari segala ilmu.
Hal itu sering dilupakan. Akibatnya, para ilmuwan yang menekuni bidang ilmu selain ilmu agama tidak diajak berdakwah sehingga mereka tumbuh menjadi sekuler. Keadaan ini tentunya merugikan umat Islam sendiri karena keilmuannya menjadi mandeg, tidak berkembang.

Hal lainnya yang harus kita sadari adalah kemajuan zaman membuat generasi muda menjadi melek ilmu. Bila para remaja seratus atau dua ratus tahun yng lalu bisa dipaksa untuk menerima dogma-dogma, generasi saat ini tidak mau menerima hal-hal yang tidak bisa dibuktikan, sehingga antara ilmuwan dalam bidang agama dan ilmuwan-ilmuwan lainnya harus dapat bersenergi dengan baik agar tidak terjadi dikotomi (pemisahan) ilmu dan ilmuwan.
Sebagai bahan introspeksi dan renungan cobalah, kita perhatikan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah:26 tentang perumpamaan-perumpamaan dan hikmah-hikmah yang menjadi pelajaran buat manusia:
 “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?.” dengan perumpamaan itu banyak orang yng disesatkan Allah[34], dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yg disesatkan Allah kecuali orang-orang yg fasik.”
Disesatkan Allah berarti orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah dalam ayat ini. karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, maka mereka itu menjadi sesat.
 “Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (QS. Ali Imran:8).*



0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.