Singapura menjadi magnit bagi negara-negara tetangganya. Dalam pekan-pekan ini, belasan ribu wisatawan Indonesia akan berkunjung ke sana. Hingga diperkirakan total turis Indonesia yang melawat ke negara kecil itu akan melebihi jumlah tahun lalu, yakni 2,3 juta orang.
Mengapa begitu kesengsem dengan Singapura? Sebenarnya obyek-obyek wisata di Indonesia jauh lebih unggul. Di Singapura, tak ada kabut yang menyapu wajah seperti di kawasan Puncak Pass. Di sana juga tak bisa mendapati wisatawan alam yang menyenangkan seperti di perkebunan teh Gunung Mas. Jalan kaki santai, lalu makan talas atau pisang ditemani teh hangat. Jangan pula berharap menikmati sate Maranggi dan ketan bakar sambal oncom.
Sekalian makanan khas itu dapat dibeli dengan harga yang relatif murah. Lalu ditambah bonus pemandangan yang membuat hati tenteram, yakni deretan perbukitan berwarna hijau dengan semilir angin dingin. Santapan lahir batin.
Di Singapura, memang harga makanan seringgit atau 5,5 dolar tetapi coba kalikan dengan rupiah. Jenis makanan pun sudah lama kita kenal dan porsinya juga tak banyak. Bagi penggemar kerupuk, jangan harap dapat kerupuk udang, apalagi opak.
Singapura juga dengan gegap gempita mempromosikan taman safari. Mereka yang pernah ke sana tentu tak mendapat kesan apa-apa. Taman Safari di Cisarua jauh lebih menarik dan nyaman.
Tahu punya banyak kelemahan, Otoritas Pariwisata Singapura bersama pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk menarik wisatawan. Mereka kompak bekerjasama dan berbenah dari ujung ke ujung.
Bandar Udara Changi sejak awal dirancang sebagai tempat yang menyediakan berbagai fasilitas guna memanjakan penumpang. Ruang terminal dibuat serba lebar dengan warna karpet yang menyejukkan mata. Toilet selalu bersih.
Mau berbelanja, sekadar makan minum atau leyeh-leyeh juga bisa. Pokoknya nyaman, sekalipun ribuan orang hilir mudik. Bandar udara ini memiliki tiga terminal, berkat pasir laut dari perairan Riau Kepulauan.
Sekeluar terminal, tersedia taksi, bis hingga kereta (MRT). Tak ada calo taksi yang berkerumun, penjaja pulpen atau pedagang minyak wangi. Tiada orang yang duduk di lantai, apalagi sambil ngopi.
Jalan raya dari bandara ke kota juga serba lebar dan teduh. Selain pepohonan besar di kiri-kanan jalan, juga banyak pohon perdu dengan bunga-bunga warna cerah. Kalau terjadi kemacetan sopir akan tahu kemana harus mengarahkan kendaraannya. Banyak jalan alternatif.
Bandingkan dengan kondisi bandar udara dan kualitas jalan raya di Tanah Air. Beda jauh. Penumpang yang sudah lelah harus sabar dan menarik nafas panjang karena jalan raya disesaki truk .
Gadog-Puncak Pass
Kemacetan juga sudah merambah kawasan wisata. Lebih lama waktu tempuh ke Puncak Pass dari Gadog, ketimbang terbang dari Cengkareng ke Changi. Kemacetan pada jalur itu bukan hanya pada akhir pekan tetapi sudah menjadi ‘ritual’ di hari kerja.
Penyebab kemacetan yang menyebalkan itu sudah diketahui, tetapi sepertinya sulit diatasi. Padahal kemacetan memboroskan bahan bakar, menambah panas suhu lingkungan sekitar, berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan menimbulkan citra buruk.
Selain macet, mereka yang melewati jalur Gadog-Puncak Pass juga digelisahkan dengan deretan gubug-gubug yang kumuh. Pemandangan yang merusak keindahan perkebunan teh yang berlatar belakang pegunungan.
Kompleks Mesjid Atta’awwun yang megah juga sudah tertutup gubug-gubug. Pada dinding batunya terdapat lubang pembuangan sampah yang jelas dapat dilihat dari jalan raya. Ironisnya masyarakat setempat lalu menutupnya dengan terpal plastik yang kotor bukan membersihkannya.
Tampaknya kita memang sudah membiasakan diri hidup bersama masalah. Kita seperti sekumpulan orang yang tak tahu harus berbuat apa. Tak ada keinginan untuk memperlancar arus kendaraan dan memelihara kebersihan lingkungan.
Kita sepertinya tak menyadari bahwa pembiaran itu akan menghancurkan. Padahal yang memperoleh manfaat pertama dari bisnis pariwisata adalah masyarakat, termasuk pedagang gemblong sedangkan pemerintah berada pada urutan paling belakang dalam bentuk pemungutan pajak.
Restoran di sepanjang jalur Gadog-Puncak Pass telah banyak yang bangkrut atau kembang kempis. Sungguh , sangat mengharukan ketika suatu rumah makan terpaksa mempromosikan keong ciput alis tutut.
Seharusnya seperti di Singapura, para pemangku kepentingan bekerja sama mewujudkan semangat memajukan industri pariwisata, melalui perbaikan terus menerus. Jangan puas dengan pendapat…kalaupun macet tetapi kan masih banyak yang datang.
Masyarakat lokal dan para pihak terkait tak bisa menganggap pemandangan alam yang indah sebagai fakta yang biasa saja. Pola pikir seperti itu sangat menghambat keharusan untuk berubah kearah yang lebih baik.
Kesimpulannya, ibarat kata pepatah, harus ada domba yang melewati jembatan. Kelak domba yang lain akan turut. Jalur Gadog-Puncak pun akan berubah.
Sumber : Inilah.Com
Mengapa begitu kesengsem dengan Singapura? Sebenarnya obyek-obyek wisata di Indonesia jauh lebih unggul. Di Singapura, tak ada kabut yang menyapu wajah seperti di kawasan Puncak Pass. Di sana juga tak bisa mendapati wisatawan alam yang menyenangkan seperti di perkebunan teh Gunung Mas. Jalan kaki santai, lalu makan talas atau pisang ditemani teh hangat. Jangan pula berharap menikmati sate Maranggi dan ketan bakar sambal oncom.
Sekalian makanan khas itu dapat dibeli dengan harga yang relatif murah. Lalu ditambah bonus pemandangan yang membuat hati tenteram, yakni deretan perbukitan berwarna hijau dengan semilir angin dingin. Santapan lahir batin.
Di Singapura, memang harga makanan seringgit atau 5,5 dolar tetapi coba kalikan dengan rupiah. Jenis makanan pun sudah lama kita kenal dan porsinya juga tak banyak. Bagi penggemar kerupuk, jangan harap dapat kerupuk udang, apalagi opak.
Singapura juga dengan gegap gempita mempromosikan taman safari. Mereka yang pernah ke sana tentu tak mendapat kesan apa-apa. Taman Safari di Cisarua jauh lebih menarik dan nyaman.
Tahu punya banyak kelemahan, Otoritas Pariwisata Singapura bersama pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk menarik wisatawan. Mereka kompak bekerjasama dan berbenah dari ujung ke ujung.
Bandar Udara Changi sejak awal dirancang sebagai tempat yang menyediakan berbagai fasilitas guna memanjakan penumpang. Ruang terminal dibuat serba lebar dengan warna karpet yang menyejukkan mata. Toilet selalu bersih.
Mau berbelanja, sekadar makan minum atau leyeh-leyeh juga bisa. Pokoknya nyaman, sekalipun ribuan orang hilir mudik. Bandar udara ini memiliki tiga terminal, berkat pasir laut dari perairan Riau Kepulauan.
Sekeluar terminal, tersedia taksi, bis hingga kereta (MRT). Tak ada calo taksi yang berkerumun, penjaja pulpen atau pedagang minyak wangi. Tiada orang yang duduk di lantai, apalagi sambil ngopi.
Jalan raya dari bandara ke kota juga serba lebar dan teduh. Selain pepohonan besar di kiri-kanan jalan, juga banyak pohon perdu dengan bunga-bunga warna cerah. Kalau terjadi kemacetan sopir akan tahu kemana harus mengarahkan kendaraannya. Banyak jalan alternatif.
Bandingkan dengan kondisi bandar udara dan kualitas jalan raya di Tanah Air. Beda jauh. Penumpang yang sudah lelah harus sabar dan menarik nafas panjang karena jalan raya disesaki truk .
Gadog-Puncak Pass
Kemacetan juga sudah merambah kawasan wisata. Lebih lama waktu tempuh ke Puncak Pass dari Gadog, ketimbang terbang dari Cengkareng ke Changi. Kemacetan pada jalur itu bukan hanya pada akhir pekan tetapi sudah menjadi ‘ritual’ di hari kerja.
Penyebab kemacetan yang menyebalkan itu sudah diketahui, tetapi sepertinya sulit diatasi. Padahal kemacetan memboroskan bahan bakar, menambah panas suhu lingkungan sekitar, berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan menimbulkan citra buruk.
Selain macet, mereka yang melewati jalur Gadog-Puncak Pass juga digelisahkan dengan deretan gubug-gubug yang kumuh. Pemandangan yang merusak keindahan perkebunan teh yang berlatar belakang pegunungan.
Kompleks Mesjid Atta’awwun yang megah juga sudah tertutup gubug-gubug. Pada dinding batunya terdapat lubang pembuangan sampah yang jelas dapat dilihat dari jalan raya. Ironisnya masyarakat setempat lalu menutupnya dengan terpal plastik yang kotor bukan membersihkannya.
Tampaknya kita memang sudah membiasakan diri hidup bersama masalah. Kita seperti sekumpulan orang yang tak tahu harus berbuat apa. Tak ada keinginan untuk memperlancar arus kendaraan dan memelihara kebersihan lingkungan.
Kita sepertinya tak menyadari bahwa pembiaran itu akan menghancurkan. Padahal yang memperoleh manfaat pertama dari bisnis pariwisata adalah masyarakat, termasuk pedagang gemblong sedangkan pemerintah berada pada urutan paling belakang dalam bentuk pemungutan pajak.
Restoran di sepanjang jalur Gadog-Puncak Pass telah banyak yang bangkrut atau kembang kempis. Sungguh , sangat mengharukan ketika suatu rumah makan terpaksa mempromosikan keong ciput alis tutut.
Seharusnya seperti di Singapura, para pemangku kepentingan bekerja sama mewujudkan semangat memajukan industri pariwisata, melalui perbaikan terus menerus. Jangan puas dengan pendapat…kalaupun macet tetapi kan masih banyak yang datang.
Masyarakat lokal dan para pihak terkait tak bisa menganggap pemandangan alam yang indah sebagai fakta yang biasa saja. Pola pikir seperti itu sangat menghambat keharusan untuk berubah kearah yang lebih baik.
Kesimpulannya, ibarat kata pepatah, harus ada domba yang melewati jembatan. Kelak domba yang lain akan turut. Jalur Gadog-Puncak pun akan berubah.
0 comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.