Pages

16 December, 2011

Ibu di Antara Kursi Roda, Buku dan Pendidikan



Suatu pagi kulihat torehan puisi seorang teman yang sedang menangisi ibunya yang sedang sakit berat….suatu sakit yang tak mungkin muncul begitu saja pastinya si Ibu telah menahannya sakitnya sendiri bertahun-tahun. Temanku yang pernah kuragukan kedekatannya dengan sosok Ibu karena walau mudik ke kotanya pada dua Lebaran tapi tak mau pulang ke rumahnya….temanku itu ternyata menangisi Ibunya. Kami bercakap sejenak melalui telpon, kusampaikan doa pada kesembuhan ibunya - ibunya yang pernah bersedia menjadi pembantu rumah tangga agar bisa menghidupi keluarganya.
Sosok Ibu…telah muncul dalam berbagai rupa. Beraneka cerita tentang kasih Ibu sebenarnya menunjukkan satu rona universal…seorang Ibu akan berbuat apapun untuk melindungi dan membesarkan anaknya, maka pada suatu kisah tentang Ibu di layar kaca TransTV  tentang Ibu yang melahirkan dua anak yang cacat dan tak dapat berjalan. Ibu yang sekedar buruh pabrik dan orangtua tunggal itu membuatkan sendiri kursi roda dari kayu dan ban karet bagi kedua anaknya.



Sebelum memburuh, dia akan mendorong kedua anaknya di atas kursi roda yang diikat dan digandengnya ke sekolah mereka.  Usai bekerja dia akan menjemput kedua anaknya, mendorong kedua kursi itu pada jalan setapak yang terjal. Saat ditanya kenapa Ibu tersebut begitu tabah menjalani rutinitas yang berat tersebut, si ibu menjawab, “Saya yakin pendidikan akan mengantarkan anak saya memiliki masa depan yang lebih baik.” Aku sangat terharu sebab  mengingat Negara kita masih belum menyediakan kesempatan kerja yang sama bahkan bagi orang yang sehat…aku berdoa agar asa ibu yang mulia itu dikabulkan sang Khalik.
Demikianlah prioritas pendidikan bagi anaknya membawaku teringat pada Ibuku sendiri yang single fighter membesarkan 5 anaknya. Ketika ayahku meninggal, Ibu harus memutar haluan dari seorang Ibu rumah tangga biasa menjadi seorang wanita pekerja. Tak mudah mendapatkan pekerjaan bagi seorang wanita beranak 5 yang tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya….satu tahun setelah menjanda, bapak menteri pada suatu Kementrian dimana ayahku bekerja  mengulurkan bantuan dengan menyalurkan  Ibu untuk bekerja pada suatu BUMN.  Atasannya yang masih muda itu tadinya begitu rikuh buat memberikan tugas pada Ibu. Ibu lah yang selalu memaksa  meminta penugasan yang ternyata banyak berkaitan dengan pemasukan barang impor sehingga Ibuku wara-wiri ke Ditjen Bea Cukai dan Pelabuhan Tanjung Priok (dunia yang cukup keras bagi seorang Ibu kurasa). Ibuku selalu berjalan kaki dari rumah kami di daerah Pancoran ke kantornya di kawasan Mampang Prapatan….cukup jauh. Sempat titik airmata kami pertamakali melihat itu, tapi kemudian  kusadari makna terdalam dari perilaku itu, Ibuku sedang menjalankan “laku” suatu tapa dalam keramaian…Ibu menempuh jarak sekian km tiap hari sembari merapalkan doa-doa dalam hati. Tiap Senin-Kamis ibu berpuasa. Tiap malam kudengar suara kecipak air, Ibu mengambil wudhu sholat Tahajud…tiap malam tak pernah putus hingga akhir hayatnya…ibu hanya menginginkan semua anaknya menempuh pendidikan berkualitas. Ibu juga yang selalu mengajukan permohonan ke berbagai penyedia beasiswa bagi anak-anaknya. Bukan hanya karena masalah biaya tapi juga agar kami disiplin menjaga prestasi. Kemudian satu persatu anak-anaknya menyelesaikan kuliah dan bekerja dan menikah…kebesaran hatinya membuat ia merestui pernikahan adikku yang masih kuliah dengan lelaki biasa-biasa saja yang 23 tahun lebih tua (padahal ketika itu orang sekitar sibuk mencibir).  Belakangan ini setelah 20 tahun menikah, mereka telah menjadi pasangan crème de la crème dunia bisnis.
Kemudian aku meneruskan ke program MMUI yang kubiayai sendiri sembari kutempuh dengan kendaraan roda empat second. Aku tak tau bahwa Ibuku bangga sampai suatu saat ketika aku menjemputnya dari acara arisan, kudengar celotehan mereka yang membanggakan anak-anaknya yang sedang kuliah MBA di luar negeri, “Ah kalau aku  mana kuat, Jeng -  Veena tuh cuman mampu kuliah di MM Negeri…, mobilnya juga mobil butut…semua dia biayai sendiri.” Hatiku seperti diguyur air es, saat aku dihujani ciuman para teman-teman Ibu begitu muncul di situ.
Ibu juga saat kami anak-anaknya berlomba memberikan hadiah dan uang padanya masih juga minta izin manakala akan membelanjakan uangnya…”loh itu kan dah jadi duit Ibu, terserah Ibu mau dipake untuk apa.” Dan kemudian saat keuangan kami makin longgar, Ibu memulai perjalanan travelingnya menjelalahi berbagai wilayah Indonesia dan kemudian naik Haji.

Ibu -lah yang meletakan fondasi pada kegemaran membaca kami, saat kami masih SD…Ibu mengangkuti koleksi buku-bukunya  sejak gadis yang dibelikan tunangannya (bapakku) dari Jogja ke Jakarta. memerlukan satu truk khusus untuk membawa semua serial Karl May baik petualangan di suku Indian maupun petualangan di pelosok Balkan belum lagi serial silat baik yang karangan Kho Ping Hoo maupun serial silat klasik. Awalnya ibu memaksa aku dan kakak yang masih di bangku SD buat membaca buku ber-hard cover dengan lembar buku deluxe…setebal bantal. Kami berdua sampai nangis-nangis tapi itu hanya sebentar karena kemudian kami ketagihan dan harus sering diingatkan Ibu supaya jangan kecanduan membaca buku-buku itu. Tiap malam kubuat sketsa  dari cersil dan petualangan Karl May…tiap malam ditemani Bapak. Fondasi cinta membaca itu membuat aku dan saudara-saudaraku gila membaca hingga sekarang.

Dan kemudian ibu meninggal setelah menderita sakit diabetes………………………………..
Hidup berjalan sebagaimana biasa hingga suatu hari kuberada di ruangan kerja Bossku, ada seorang lelaki juga di dalam sana. Konon dia seorang Pendoa Kristiani yang memiliki mata batin yang tajam, saat kami kebetulan berdua dalam ruangan itu, si Pendoa mengajakku bicara, “Mbak, kamu merasa gak kalau selama ini sudah bekerja keras tapi pendapatan kamu tak pernah 10, hanya berkisar pada angka 6 hingga 7 saja.” Aku memandangnya takjub seraya mengangguk. “Itu karena kau lupa mendoakan ayahmu, selama ini kau selalu sibuk mendoakan Ibumu saja…..bapakmu  memiliki hak yang sama, mbak.” Aku makin takjub mendengarnya…yah lafal  doa bagi orangtua dalam agamaku memang tak memisahkan bapak dan ibu tapi saat melafazkan doaku usai sholat 5 waktu itu itu visualisasiku selalu pada sosok Ibu. Kuziarahi sebuah kubur dimana jasad Ibu dan Bapak bersatu,  sembari menaburi kembang setaman kubisikan permohonan maaf pada Bapak, “Pak, maafin kelalaianku ya.” Usai itu semua jalan pencarian rezeki menjadi terang benderang.
Ibu-ku wanita  luar biasa, seorang diri dia membesarkan 5 anaknya tapi Bapak juga seorang lelaki yang bertanggung jawab menafkahi keluarganya dengan kerja keras dan hasil yang halal…..hingga kami saat ini bisa berada pada tempat kami berdiri.






Ditulis Oleh : Daveena
Dimuat di Kompasiana.Com 16-12-2011
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/12/16/ibu-di-antara-kursi-roda-buku-dan-pendidikan/

2 comments:

  1. wah postinganya bikin :(
    lebih asik kalo di kasih read more bro postinganya

    ReplyDelete

Note: Only a member of this blog may post a comment.