21 tahun sudah Ibu meninggalkanku, meninggalkan kami anak-anaknya. Namun semua kenangan bersama ibu selalu teringat. Rasanya baru kemarin…
Ibu…
Setiap malam engkau selalu bercerita untukku, untuk kami anak-anaknya. Semua kisah rasul telah engkau ceritakan. Banyak cerita dongeng telah engkau sampaikan. Begitu pandai engkau bercerita. Kami ikut larut dalam ceritamu. Kadang aku sampai menitikkan air mata mendengar ceritamu yang sedih. Kadang dadaku berdebar kencang kalau ceritamu menakutkan. Ya, ibu memang pandai sekali bercerita. Sampai sekarangpun, banyak kisah-kisah yang engkau ceritakan yang masih membekas dalam jiwaku. Aku ingin sepertimu ibu, tapi aku tak mampu sehebatmu
Aku selalu ingat bagaimana engkau mendidik kami anak-anaknya agar bisa bertanggung jawab sejak kecil. Begitu pandai engkau membagi tugas sesuai dengan kemampuan kami 7 orang bersaudara. Ada yang bertanggung jawab untuk menyiram tanaman, menyapu halaman, mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, membantu memasak, menjaga warung. Keluarga kami merupakan keluarga besar. Begitu pandainya engkau membujuk kami, sehingga kami tidak merasakan itu sebagai beban. Tapi malah merasa bangga karena sudah punya tanggung jawab. Engkau menyuruh dengan penuh kelembutan, penuh kasih sayang. Membuat kami anak-anakmu selalu patuh akan tugas-tugas yang engkau berikan. Walaupun kadang-kadang kami ada yang lalai, tapi engkau tidak pernah marah. Engkau selalu menasehati kami dengan lemah lembut. Ya, kami tidak pernah mendengar Ibu marah. Bahkan pernah waktu aku sekolah SMA melakukan kesalahan yang menurutku kesalahan kecil, tapi karena di luar kebiasaan dalam keluargaku, membuat kakak-kakakku marah. Kemarahan kakak bukannya membuat aku sadar, tapi ada perasaan dongkol dihatiku. Tapi begitu engkau yang bicara padaku, tanpa sedikitpun kemarahan, engkau dengan lembut menasehatiku, sehingga akupun bertekad untuk menjadi anak yang lebih baik lagi.
Aku ingin seperti ibu. Tapi aku tidak bisa se sabar ibu. Walaupun menurut orang lain aku termasuk orang yang sabar, tetap saja aku merasa ibu jauh lebih sabar. Kadang, dalam menghadapi kenakalan anak-anak aku memarahi mereka. Walaupun tidak sampai main pukul/cubit. Bahkan anak-anak pernah mengatakan kalau aku ini pemarah. Aku sedih sekali akan penilaian anak-anakku. Aku harus berusaha untuk lebih sabar lagi. Kalau bisa se sabar ibu.
Ibu…
Setiap aku bangun subuh, kudengar alunan merdu suaramu melantunkan ayat suci. Bukan hanya merdu, tapi engkau tahu makna kata demi kata yang engkau baca. Sehingga engkaupun bisa tahu kesalahan kami saat baca Al Quran, walaupun engkau tidak melihat yang kami baca. Kok Ibu bisa tahu? Begitu selalu kami bertanya. Kalau kita mengerti maknanya, kita bisa tahu jika ada kesalahan satu huruf saja. Begitu jawabmu. Rajin-rajinlah mengaji dan sedikit demi sedikit pelajari artinya, demikian nasehat ibu kepada kami anak-anaknya. Aku begitu kagum atas kemampuan ibu, namun sampai sekarang aku tidak punya kemampuan sepertimu ibu. Maafkan aku ibu.
Ibu…
Jika aku terbangun di larut malam, sering kulihat engkau sedang bersimpuh di atas sajadah dan berdoa dengan khusuknya. Kadang aku duduk dipangkuan ibu yang sedang berdoa. Aku dengar engkau dengan khusuknya mendoakan kami anak-anaknya satu per satu. Aku pernah bertanya padamu, apakah Ibu tidak ngantuk dan capek selalu bangun tengah malam dan harus bangun lagi sebelum shalat subuh memasak sarapan buat kami? Jawab Ibu, bangun tengah malam untuk shalat, tidak membuat capek, malah bisa membuat hati kita tenang, bisa menambah semangat untuk berbuat kebaikan. Aku ingin sepertimu Ibu. Tapi mengapa begitu banyak godaan bagiku untuk tetap tidur nyenyak sampai pagi…?
Ibu…
Engkau bukanlah wanita yang cantik. Bukan juga orang yang kaya. Tapi engkau punya rasa percaya diri yang sangat tinggi. Engkau tidak sungkan menghadapi siapapun, berani berdebat dengan orang hebat sekalipun kalau engkau yakin bahwa dirimu benar. Engkau sering memberi nasehat dan pencerahan kepada siapapun yang curhat kepadamu. Ibu memang hebat. Tidak hanya berguna untuk keluarga, tapi juga berarti untuk orang lain. Aku belum mampu sepertimu ibu
Ibu…
Beruntunglah ayah yang menyunting dirimu. Ibu adalah istri yang sangat menghargai, menghormati, menyayangi dan suami. Tidak pernah kudengar ibu bertengkar dengan ayah. Engkau perlakukan ayah seperti seorang raja. Semua kebutuhan ayah, selalu ibu sediakan dengan sebaik-baiknya. Sampai-sampai ayah tidak pernah tahu bagaimana rasanya mencuci piring sendiri, bagaimana rasanya mencuci baju sendiri, bagaimana rasanya kalau harus memasak sendiri. Ibu sangat menghargai ayah, walau ayah hanyalah seorang tukang sepatu, yang uangnya selalu pas-pasan bahkan kadang kekurangan. Ibu ikut membantu ayah menambah penghasilan dengan membuka warung dan kadang membuat makanan untuk dijual.
Ibu juga sangat pandai membuat ayah merasa bangga. Setiap kami anak-anaknya menerima rapor, Ibu selalu meminta ayah yang menjemputnya. Aku pernah bertanya, kenapa Ibu tidak mau menjemput rapor kami? Katamu, ingin membuat ayah senang dan bangga melihat anaknya yang selalu juara di sekolah dan ayah akan ikut naik ke pentas menerima ucapan selamat dari para guru. Ya, Ibu sangat pandai menyenangkan hati Ayah.
Ibu…
Engkaulah orang yang paling berperan akan keberhasilan pendidikan anak-anakmu. Disaat ayah ragu akan kemampuannya untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi, Ibulah yang selalu memberi kekuatan. Tidak ada kata menyerah bagi ibu. Walaupun sebagian sanak keluarga mematahkan semangat ibu, dan menganggap ibu tidak tahu diri, tapi engkau tidak mau menyerah. Engkau sangat yakin Allah akan memberikan kemudahan. Keyakinan ibu menjadi kenyataan. Anak-anaknya bisa menyelesaikan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Ibu…
Dibalik ketegaranmu, senyummu, engkau adalah wanita yang rapuh. Rapuh karena penyakit. Sering kulihat engkau batuk-batuk, bahkan sesak nafas. Tapi engkau tidak pernah mengeluh. Setiap kami bertanya, engkau selalu menjawab dengan senyuman bahwa engkau tak apa-apa, tidak perlu khawatir, begitu katamu. Ibu begitu sabar dan tidak mau mengeluh. Kalau aku? Jangankan sakit, saat capek saja, aku sering minta anak-anak untuk tidak mengganggu. Aku tidak bisa sepertimu ibu.
Ibu…
Aku ingat di saat-saat terakhir aku bersamamu. Engkau sakit berat. Sampai harus di rawat di RS. Aku tahu engkau sangat kesakitan. Tapi engkau tidak mengeluh. Bahkan engkau banyak memberi nasehat-nasehat kepadaku (kebetulan aku satu-satunya anak ibu yang bisa menemani ibu di RS, karena lagi libur kuliah sedangkan kakak yang lain ada yang bekerja dan ada yang mengurus bayi di rumah). Engkau menasehatiku agar menjadi orang yang sabar, agar rajin beribadah, rajin belajar. Dan ibu minta maaf padaku dan ayah kalau ada kesalahan ibu selama ini. Aku menangis. Perasaanku jadi tidak enak. Seharusnya aku yang minta maaf. Tapi karena aku begitu sedih dan terus menangis, sampai-sampai aku tak mampu bicara untuk minta maaf padamu. Maafkan aku ibu, akulah yang banyak kesalahan padamu. Akulah yang seharusnya minta maaf kepadamu. Tapi aku tidak mampu untuk berucap mohon maaf padamu di saat engkau akan meninggalkan aku. Bahkan sebelum engkau pergi untuk selamanya, engkau dengan tenangnya menyuruh aku agar jangan bersedih, hidup mati ada ditangan Allah. Begitu katamu. Selama dirawat, dalam kondisi yang sangat lemah, aku lihat engkau tidak lupa selalu shalat sambil berbaring. Aku kagum padamu ibu. Hanya 2 hari engkau di RS, dihadapanku, engkau berpulang ke Rahmatullah dengan tenang. Selamat jalan ibu. Semoga Allah menempatkan engkau di tempat yang terbaik di sisiNya. Aamiin..
Ibu….
21 tahun sudah engkau meninggalkanku. Terimakasih atas semua pengorbananmu, atas semua didikanmu. Terimakasih atas semua kasih sayangmu. Aku sangat sayang padamu ibu.
21 tahun sudah engkau meninggalkanku. Terimakasih atas semua pengorbananmu, atas semua didikanmu. Terimakasih atas semua kasih sayangmu. Aku sangat sayang padamu ibu.
Sekarang akupun sudah menjadi seorang ibu. Tapi rasanya aku belum mampu menjadi ibu hebat sepertimu…
Ditulis Oleh : Lina_achien
Dimuat di Kompasiana.Com 19-12-2011
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.