Pages

23 December, 2011

Editing Tak Melulu Menggunting

Kerja editor atau redaktur itu dalam tataran teknis memang mengedit. Menyunting. Tujuannya agar artikel yang ia sunting bisa enak dibaca, punya proximity yang kuat, ada magnitudo, dan penting dibaca. Cuma, mewujudkan itu tak mudah. Kerja redaktur tak melulu memangkas bagian akhir tulisan reporter atau sitiran kantor berita dan situs di bagian akhir dan menyesuaikan dengan dummy atau miniatur halaman. Kalau cuma itu, enak amat. “Tanpa berpikir” pun kerja semacam itu mudah dilakoni.
Lantas bagaimana editor itu bekerja dalam ranah penyuntingan?

Pertama, mencari yang penting.
Reporter yang baik menulis yang paling penting di bagian lead-nya. Tapi, ada pula yang tidak demikian. Kalau itu yang terjadi, editorlah yang perlu mengubahnya.
Atau kalau mengambil dari situs berita, redaktur pula yang mencari sisi pentingnya. Kemarin malam saya mengedit berita aksi petani yang jahit mulut di depan gedung DPR. Kebetulan ada yang dari Lampung. Di situs berita Detiknews disebut Ketua DPR bakal menyurati beberapa kepala daerah agar kasus tanah di daerah bisa kelar. Termasuk janji Ketua DPR Marzuki Alie menyurati  bupati Lampung Tengah. Karena kedekatan atau proximity-nya di sana, ya itu yang saya angkat. Di lead ditulis, “Ketua DPR Marzuki Alie berjanji menyurati Bupati Lampung Tengah agar segera menuntaskan persoalan tanah.”
Tulisan reporter, boleh jadi ada penempatan kalimat yang utama tidak pas. Ada bagian yang penting tapi ditulis pada akhir. Sedangkan bagian awal malah yang kurang penting. Ini tugas editor untuk menata, menempatkan, dan menyusun informasi dari yang urgen sampai kurang penting. Prinsip dalam straight news kan, makin ke bawah makin tak penting. Kalaupun nanti memotong, gampang. Pangkas saja bagian bawah. Beres.
Ya redaktur memang mesti cermat. Toh saban hari kan pekerjaannya menelisik kalimat demi kalimat, fakta demi fakta, info demi info.

Kedua, menentukan judul.
Masih dalam konteks poin pertama, judul pun saya bikin yang lekat dengan Lampung. Supaya senapas dengan teras berita, judul ditulis “Marzuki Alie Surati Bupati Lampung Tengah”.
Kalau reporternya menulis lead dengan kuat dan memang itu yang menjadi inti berita, redaktur tinggal mengayakan saja. Tetapi kalau tidak, editor yang mesti mencari bagian penting itu. Itu urgen karena berkaitan dengan judul.
Maka itu, editor yang baik wajib membaca secara keseluruhan laporan reporternya atau naskah di dalam tubuh berita. Apa intisari artikel itu? Apanya yang menarik? Di mana urgensinya buat pembaca? Kira-kira sama tidak dengan media kompetitor dan sebagainya?
Judul yang baik adalah yang bisa merangsang pembaca untuk mengetahui semua konten artikelnya. Bisa dengan kalimat aktif, kalimat pasif yang kuat, yang unik, sedikit nyeleneh, dan sejenisnya. Kalau artikel feature barangkali mudah menuliskan judul. Sebab, sisi kemanusiaannya yang diperkuat. Tapi untuk berita langsung atau straight news, mesti dirasa-rasai dulu. Enak tidak judul ini. Pas tidak dengan konten artikel. Oke tidak dipandang atawa eye catching.
Kalau feature, agak mudah menuliskan judul karena memang ada kekhasan. Yang agak sulit ya straight news.

Ketiga, meringkas kalimat.
Kalau ada kalimat dalam satu tubuh berita yang masih panjang, itu berarti redaktur tak bekerja dengan baik. Tugas redaktur dalam ranah paling praktis, ya memendekkan kalimat. Dibuat ringkas. Dibikin pendek. Dibikin supaya pembaca cepat mengerti. Kalau ada yang terlalu panjang, dibuat minimal. Informasi yang buruk, tapi kalimatnya pendek-pendek, masih enak membacanya. Namun, sudahlah informasinya berantakan, jika kalimatnya panjang, jelas memusingkan. Kerja mengedit naskah model begitu, jika dilakukan di bulan Ramadan, bakal mengurangi pahala puasa? Apa pasal? Redakturnya mengedit sambil menyumpah-serapahi penulis yang membikin artikel itu. Hahahaha.
Kalau redaktur sudah membaca secara keseluruhan, ia enak memangkasnya. Tapi, kalau membaca sekilas, yang diguntingnya itu bisa jadi bagian mahapenting. Dan andai itu yang terjadi, informasi kepada pembaca tidak tersampaikan dengan baik. Ada info yang hilang. Ada mata rantai kabar yang sumir dan absurd.
Jangan lupa konsep keep it short and simple (KISS). Jadi, kalau ada kalimat “Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan pihaknya akan merancang terlebih dahulu formula yang bakal digunakan untuk melakukan proses reformasi agraria di semua hutan kawasan dalam waktu dekat”, bisa kita ringkas. Bisa kalimatnya ringkas menjadi “Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan formula reformasi agraria yang berkenaan dengan kawasan hutan segera dibuat. Diksi “akan”, “bakal” serupa dengan “waktu dekat”. Lema “merancang” juga berkenaan soal di awal waktu. Suatu rancangan ya memang dibikin di awal. Jadi, pilih salah satu. “Melakukan proses reformasi” diringkas menjadi “mereformasi”. Lebih pendek, lebih ringkas, lebih mudah mencernanya.

Keempat, menyesuaikan dengan dummy.
Dummy ialah miniatur halaman. Misalnya dalam selembar halaman, ada berapa berita yang mesti diisi. Ada iklannya atau tidak. Berapa foto yang mau dipasang. Di beberapa media, tugas membikin miniatur halaman ini dikerjakan redaktur artistik. Ia yang membuat dummy untuk semua halaman, termasuk peletakan foto dan iklan. Namun, di media lain ada yang ditentukan oleh redakturnya sendiri. Mana suka, mana sesuai dengan kebijakan redaksi yang bersangkutan.
Adanya miniatur halaman ini membantu editor dalam menyunting. Ia akan tahu kapasitas naskah dan foto yang akan diturunkan itu sebesar apa. Dengan dummy, ia akan bisa memadatkan kalimat sesuai dengan kuota.
Tapi ada juga redaktur yang tak kira-kira mengirim bahan berita ke korektor bahasa (copy editor) dan pracetak. Sudah tahu cuma butuh 1.500 karakter yang tertera di dummy, masih juga mengirim sampai 2.500 karakter. Sayang kan, sudah capek-capek dikoreksi tapi sedikit yang terpakai. Mengirim banyak sedikit boleh, kalau-kalau kurang. Tapi kalau kelebihannya sudah satu kali lipat, keterlaluan namanya.

Kelima, re-writing.
Apa pekerjaan yang paling “dibenci” redaktur? Jawabannya menulis ulang. Re-writing. Ini terjadi karena artikel yang disetor penulis atau wartawan dari lapangan sangat buruk. Sebenarnya, wartawan itu mengerti apa yang mau ditulis, tapi ia tak cakap melaporkannya dalam bahasa tulis. Ujungnya, tulisannya berantakan, ide besarnya tak sampai, kalimatnya bertele-tele, sampai nama narasumbernya berubah-ubah. Jika ini yang terjadi, banyak-banyak mengucap istigfar dan baca kembali laporan itu. Ada cara lain yang lebih gampang ketimbang memelototi naskah yang acakadut seperti itu. Apa? Dudukkan reporter di depan dan suruh ia bercerita tentang intisari artikel yang tadi ditulisnya. Biasanya orang akan lancar bercerita dan runtut ketimbang disuruh menuliskannya. Nah, kalau sudah bercerita dan editor paham ke mana arah tulisan, itu sudah cukup. Satu pekerjaan kelar. Lakon berikutnya yang menulis ulang laporan tadi dengan bahasa si editor sendiri.
Menulis ulang ini sebetulnya mudah kalau penulisnya sudah menyampaikan apa saja yang mau ia tulis.
Buat sebagian editor, re-writing memang menyebalkan dan cuma mengenakkan penulisnya saja. Tapi ada juga redaktur yang paham itu bagian dari tugasnya. Nanti kalau halaman sudah beres, tugas besar sudah menanti: melatih reporter agar bisa menulis yang runtut dan ringkas.
*
Dari narasi di atas, kita tahu, tugas editing itu tak melulu menggunting, memangkas, memendekkan kalimat. Kadang ada item pekerjaan yang tak berkait dengan teknis menyunting. Tapi, tetap saja, karena itu otoritas redaktur, ia mesti melakoninya. Dan tulisan sederhana ini juga tak lepas dari kesalahan dan siap pula digunting. Saya dengan gembira mempersilakan Kompasianer melakukannya.





Ditulis Oleh : Adian Saputra
Dimuat di Kompasiana.Com 23-12-2011



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.